Kamis, 01 September 2016

Hari-Hari Kelabu...

Syukurku kepada Ilahi Rabbi yang masih memberikanku nafas hingga detik ini. Beberapa waktu yang lalu, aku mencoba mengajukan mutasi (lagi). Setahun yang lalu, aku mengajukan mutasi dengan alasan mengikuti suami. Nihil. Bahkan Bapak Kepala UPT tidak berkenan memberikan ijin. Tahun ini, aku mengajukan mutasi dengan alasan bertukar tempat tugas dengan Guru Agama yang bertugas di Ajibarang. Sungguh, dalam perkiraanku, pengajuan yang sekarang akan berhasil. Namun Allah menghendaki lain.

Aku masih disini. Masih S1. Masih jauh dari suami dan anak-anak. Aku tidak tahu, apakah pilihanku ini benar. Apakah mengikuti kemauan suami untuk terus bekerja (dengan meninggalkan anak-anak dan jauh dari suami) adalah hal yang benar. Dengan dalih untuk masa depan.

Hari-hari belakangan ini aku menjadi sering kalut. Sering sedih. Sering menangis. Aku tidak tahu, apakah tangisanku ini wajar sebagai ekspresi seorang manusia biasa yang punya keinginan tapi tidak terwujud. Ataukah tangisanku ini menjadi tambahan dosa karena sungguh berat rasanya menerima keputusan Allah. Keputusan yang notabene.nya dulu aku juga yang memintanya. Namun setelah benar-benar diberikan, justru aku "menyesalinya".

Terkadang, aku merasa, bahwa aku menjadi korban dari ambisi suamiku yang ingin hidup mapan. Terkadang, aku merasa sangat tidak berguna. Dimana-mana, hanya menjadi beban hidup orang lain. Kapankah aku bisa menggenggam yang namanya kemandirian? Keberanian untuk mengambil keputusan? Aku bekerja, mamas bekerja. Tapi anak-anak menjadi korban. Meskipun, aku juga tidak tahu, apakah ketika anak-anak mengikuti orang tua yang penuh keraguan, mereka akan tumbuh setangguh sekarang?

Ya Alloh, ternyata sungguh berat perasaan yang harus aku bawa. Ternyata sungguh mahal harga yang harus aku bayar untuk sekedar bertemu dengan suami, anak-anak, orang tua... Orang-orang yang seharusnya menjadi pihak paling dekat dalam kehidupanku, tapi kini menjadi yang paling jauh karena keegoisanku menuruti pekerjaan.

Yaa Alloh. Aku tak tahu harus berkata apalagi. Benar, masih sangat banyak orang yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan daripada aku. Tapi bukankah manusia diberikan pilihan oleh Allah? Tidakkah bisa manusia itu memilih jalan mana yang akan ditempuhnya?

Ya alloh, berikanlah kami kekuatan dan kesabaran dalam menjalani ini semua. Aku, tidak semata-mata bermaksud secara sengaja untuk meninggalkan anak-anakku. Melepaskan tanggung jawabku. Aku, hanya berusaha mencari yang lebih baik untuk lebih baiknya anak-anakku di masa yang akan datang. Aamiin Ya Robbal 'aalamiin...

Jumat, 18 Maret 2016

MEMILIH MENJADI LEBIH DEWASA

Waktu berlalu demikian cepat. Serasa baru kemarin tanggal 1 Juni 2009, sekarang sudah tanggal 19 Maret 2016. Sepuluh hari lagi, usia pernikahanku genap 7 tahun. Ya. Tujuh tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk melewati semua yang telah terjadi, namun mendapati diriku sendiri sekarang lebih kompromi dengan keadaan, sepertinya itu adalah hadiah indah untuk diri sendiri yang layak untuk dinikmati.

Di awal pernikahan, aku merasakan menjadi "jaksa penuntut umum" untuk suamiku. Selalu berharap sempurna. Dan selalu ingin mendapatkan yang terbaik. Aku lupa, bahwa suamiku juga manusia biasa yang tak luput dari kekurangan. Aku pun, bila ditempatkan pada posisi suamiku yang selalu dituntut ini dan itu, belum tentu bisa menghadapinya. Astagfirullahal'adziim. Atas semua yang sudah berlalu, dan mungkin itu sangat menyakitkan kalbu, sungguh, mas, aku minta maaf padamu.

Kehadiran Ainun Mahya juga membawa perubahan positif dalam diriku. Setidaknya, aku belajar memahami betapa repotnya Firoh kala itu. Hal yang pada saat itu tidak terpikirkan. Sekarang, aku menyaksikanny. Betapa, menjadi ibu yang sebenarnya benar-benar membutuhkan ilmu, kesabaran, pengalaman, dan pembelajaran yang tiada habisnya.

Bolak-balik Kaliwungu-Dawuhan dengan frekuensi yang lebih dari biasanya membuka pikiranku bagaimana caranya bisa mendapatkan penghasilan minimal empat puluh ribu rupiah sehari. Pemikiran semacam itu, menurutku sangat luar biasa. Sebelum ini, aku tidak pernah terpikir untuk menekuni dunia perbisnisan. Ternyata, setelah aku tekadkan, dan aku tekuni, sangat mengasyikkan. Membuat jajanan anak-anak, yang mudah-mudahan tetap enak, sehat, dengan harga anak sekolahan. Lima ratus rupiah. Apa saja. Agar-agar. Kacang bawang. Hunkue. Nutrijell. Donat. Bolu kukus. Dan aku akan terus bereksperimen mengembangkan jenis jajanan yang lainnya lagi. Betapa sangat membahagiakan ketika dalam sehari ada pemasukan meski hanya lima ratus rupiah. Dan dua hari kemarin, aku berhasil memikat hati pembeli. Terbukti, agar-agar santan dan nutrijel yang aku buat, selalu habis di pasaran. Alhamdulillah. Hari ini maunya menitipkan bolu kukus, ternyata malah bolunya bantat. Hehehe..

Intinya, aku bahagia dengan keadaan yang sekarang. Meski lebih capai, tapi ritme hidup yang serasa baru, membuatku selalu bersemangat menjalani hari demi hari. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Itu sungguh benar adanya.

Aku juga tidak sebawel dulu terhadap mamas. Aku tidak terlalu sering mengeluh dan menuntut ini dan itu. Setidaknya, menurut perasaanku. Hehe. Pokoknya, dengan adanya kegiatan baru membuat jajanan anak-anak, hari-hariku menjadi lebih indah rasanya. Alhamdulillah....

Terimakasih Ya Allah. Perubahan positif ini tak lepas atas bimbingan-Mu. Alhamdulillah...