Sabtu, 29 Maret 2008

SUARA ITU....

Suara apakah itu?

Dendang lagukah?
Iramanya mengusik kalbu

Syair pujanggakah?
Baitnya mendayu pilu

Seruan berperangkah?
Gegapnya gugah semangatku

Gemericik airkah?
Sejuknya diterima jiwaku

Gemeretak apikah?
Hembusnya hangatkan bekuku

Aduhai...ini indah sekali

Lebih dari sebait lagu
Lebih dari sebaris syair
Lebih dari selarik seru
Lebih dari setetes air
Lebih dari sepercik api

Sungguh, ini indah sekali!

JIwaku yang rana
Menemu labuhnya kini
Hatiku yang lara
Menjumpa obatnya kini
Sukmaku yang linglung
Tahu kemana kini menuju

Ya, ya, ya, ini indah...sekali!

Menuntun langkahku
Mencari sumber suara itu

Oh...di sana
Dari bangunan kecil persegi
Dengan lengkung bulan sabit perak menantang langit

Suara itu merintih haru
Dalam keluasan jagad
Pasrahkan diri pada Yang Maha Luas

Dalam kebesaran alam
Terima takdir Yang Maha Besar
Dalam kekerdilan diri
Pengakuan tulus terpatri

Hanya Engkau yang layak diabdi

Dan sujud ini adalah
Ni'mat terbesar pagi ini

PUTRINYA TEMANKU

Namanya Aurora Senja Pribadi

Nama yang indah. Setahuku, Aurora diambil dari kata Aurum (entah bahasa mana???), yang berarti emas. Atau dari kata Auriel, seorang putri yang begitu jelita, menjadi rebutan sekian banyak hati.

Senja; saat sore dengan rona yang melahirkan begitu banyak sensasi melegakan. Juga, romantis. Atau juga berarti lanjut, atau tua.

Pribadi; mungkin diambil dari nama ayahnya, mungkin juga menunjukkan kepribadian, jati diri.

Begitulah.

Dalam penerjemahanku, Aurora Senja Pribadi berarti gadis yang kepribadiannya berkilau layaknya emas hingga usia senja nanti. Aamiin

Aku sendiri tak tahu, ayah-ibunya memberikan nama itu dengan maksud apa. Tapi yang jelas, artinya pastilah baik dan indah sekali.

Usianya baru 17 hari, tapi bayi mungil itu luar biasa. Kerjap mata beningnya menggodaku untuk terus menerus menatapnya tanpa bosan.

Aku tak memiliki cukup kata untuk menggambarkan perasaanku pada bayi itu. Dan ideku mandeg sampai di sini.

Subhaanallooh...

MASA

mengejarmu

dalam km/jam yang tak masuk akal

dan luruh aku dalam letih yang begitu wajar

sebab kau tak terkejar

tak mungkin terjajar



kau terus berlari

kian cepat

kian jauh tak terkejar

lalu titik akhir hentikanku

dan kau terus melaju

sampai batas dititahkan padamu

Sabtu, 15 Maret 2008

Takdir (2)

Aku nikahkan takdirku

Dengan mahar sebiji sawi keikhlasan

dan segelas air tawakal

membasahi kerontangnya asa

melarutkan segala upaya

Takdir (1)

Saling silang waktu merajah masa

Menatah batu takdir

Melahirkan rejeki

Menjodohkan kematian

DITOLAK

Bagaimanakah rasanya ditolak?

Pasti menyakitkan sekali. Apapun bentuknya. Apapun caranya. Sehalus apapun skenarionya.
Dan aku mengalaminya. Ditolak dalam arti yang sesungguhnya.

Banyak hal yang tidak aku mengerti dalam hidup ini. Terakhir, kami bertemu di udara dalam suasana yang begitu menggembirakan. Kami menikmatinya. Berbagi cerita. Hampir-hampir tanpa dusta.

Jauh hari sebelum saat ini (14 Maret 2008; 09.10), aku telah mohon diri, pamit, dan mengijinkan serta membiarkan dia kembali. Kembali pada kebebasannya seperti dulu. Tapi dia menahanku. Setidaknya itu yang aku pahami.

"Kita sudahi di sini, mas....", aku merengek saat itu.

Bagaimanapun, setelah aku tahu akhir cerita itu akan seperti ini, aku beranggapan bahwa aku tak perlu merengek-rengek seperti itu waktu itu.

"Tidak! Titik", kau menjawab dengan tegas.

Bisa saja aku tetap ngotot meminta kita bubar, tapi toh itu bukan penyelesaian yang baik. Akhirnya aku mengiyakan. Sekedar menuruti air yang sedang mengalir.

Tapi bila boleh jujur, jauh di lubuk hatiku, kisah demi kisah yang telah terjalin sebelumnya tak bisa aku hapus begitu saja. Nyatanya aku hanya menguji. Dan di juga hanya menguji. Aku pikir, kami masih bersama.

Tapi waktu demi waktu yang kemudian berlalu, mengaburkan kisah yang pernah rapi terjalin.

Dan hari ini aku mendapatkan jawabannya. Nomornya bahkan telah hangus, setelah hampir 1/4 tahun kami tak saling sapa.

Aku tertegun.

1/4 tahun tanpa sapa. Itu waktu yang sangat lama untuk sebuah kisah yang sebelumnya hampir setiap hari ada cerita.

Aku hanya ingin bersilaturrahmi. Dengan gembira mengabarkan padanya bahwa aku berhasil membuat mimpisyurga ini. Meski tak seindah syurga. Oh, tentu saja. Bukankah aku baru belajar?

Begitulah.

Terkadang, hati memang harus menerima sebuah penolakan. Agar sadar, bahwa mungkin hanya 1 (satu) yang menolak 'keberadaan' kita, tapi lihatlah... dengarlah... rasakanlah... betapa begitu banyak orang yang bersedia menerima kita dengan tulus.

Maka, untuk apa bersedih dan sakit hati terus menerus? Smile up, girl... Dunia tak selebar daun kelor, kok...

Sadarilah dan yakini itu !!!




Sabtu, 08 Maret 2008

My Memorize

Fabiayyi aa-laa-i Rabbikumaa Tukadzdzibaan

Sungguh! Syukurku pada Allah yang berkenan mengujiku dengan sakit ini, mengijinkanku merasakan bagaimana menjadi seorang pasien di salah satu rumah sakit besar seperti Rumah Sakit Umum Daerah Margono Sukarjo Purwokerto.

Yang aku keluhkan 'hanya' sebutir bola pingpong yang aku anggap mengganggu gerak leluasaku di area tubuh yang sebenarnya tidak termasuk anggota gerak. 'Hanya' sebutir bola pingpong di bawah arkeola kananku. Apanya yang harus dikeluhkan?

Saat di rumah sakit kemarin (18-20 Februari 2008), penyakit yang lebih 'aneh' dan lebih 'layak' dikeluhkan aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Semata-mata aku menyaksikan bagaimana 'tersiksanya' mereka, dengan benjolan-benjolan yang sungguh ajaib, menempel di beberapa tempat pada tubuh-tubuh mereka.

Fabiayyi aa-laa-i Rabbikumaa Tukadzdzibaan

Ada yang sedang menjalani kemoterapi, dengan dampaknya yang sangat memilukan jiwa dan raga: rambut rontok, kulit gosong kehitaman, nafsu makan turun, perut mual, dan lain sebagainya.

Ada yang menderita tumor rahim, sudah diangkat, tapi ternyata terbukti ganas, dan sekarang membenjol lagi, bahkan mencuat dan bisa dilihat dengan mata telanjang kemunculannya. Mengeras seperti batu.

Ada yang hidungnya terus menerus mengeluarkan darah, entahlah, penyakit apa itu namanya, yang jelas, sang pasien 'dipaksa' disumpal hidungnya dengan pilinan kapas. (Aku teringat, kapas yang disumpal-sumpalkan ke bagian tubuh kita yang berlubang, berlaku nanti setelah kita meninggal! Tapi ini, dia masih menghembuskan nafas dengan bebas. Ya Rabbi..!)

Ada yang terpaksa dibuang salah satu teteknya, tempat dulu anak-anak tercinta menghisap bukti kasih sayang tak terperi sang bunda, untuk menyelamatkan nyawa yang hanya satu-satunya dimiliki. Itu pun belum cukup, ternyata. Setelah itu, dari bagian tubuh yang lain, diambil sedikit dagingnya untuk menambal tetek yang telah diratakan dengan dada tersebut. Duh Rabbi...

Ada yang... entahlah. Aku tak tau penyakit apa, yang jelas ada benjolan besar... (setidaknya menurut ukuranku!) menempel di bagian bawah telinga sampai ke pipi, membut sang pemiliknya (seorang nenek renta), begitu sulit, sulit sekali ketika harus menghirup dan menghembuskan nafas. Mau tak mau, mulutnya akan senantias terbuka, dan dari tenggorokannya, tak henti keluar suara seperti orang ngorok kalau tidur. Belum lagi bila sekedar ingin membuang liur atau dahak. Ya Rabbi... begitu sulit sekali.

Ada yang diuji dengan kaki yang hampir busuk karena luka yang diderita. Mungkin Bapak ini menderita diabetes, dan lukanya yang tak kunjung kering akhirnya menanah, dan hampir busuk.

Fabiayyi aa-laa-i Rabbikumaa Tukadzdzibaan

Apalagi yang harus aku ceritakan dari rumah sakit besar ini?

Aku diajari untuk bersyukur, bersyukur, bersyukur...

Aku masih bisa bebas bercakap, diantara rintih lirih para pasien yang lain. Bukan, bukan aku sedang menghina rasa sakit mereka, bukan pula aku menyombongkan kesehatan yang Allah titipkan. Sungguh, aku hanya sedang menghibur diri sendiri, aku juga ingin, meski dalam sakit, toh masih ada begitu banyak nikmat 'tersisa' untuk disyukuri.

Aku masih bisa bebas tertawa, bukan karena aku tak merasakan lara, tapi hanya agar sedikir berkurang luka di jiwa. Aku masih bisa mencecap makan dengan enak, bukan sedang menelantarkan rasa lapar mereka karena perut yang tak bisa diisi nasi, tapi hanya sekedar berusaha, ayolah.... esok lusa, kenikmatan seperti ini pasti bisa kunikmati lagi.

Dan kamar operasi menyambutku dalam pasrah sepenuhnya. Di depan ruang operasi, sempat terpikir dalam benakku: Ya Rabbi...bagaimana jodohku kelak? Air mataku menitik, setelah hampir 24 jam sebelumnya, aku bahkan tak terpikirkan untuk menangis. Sesampainya di bangsal Teratai, hampir 24 jam berikutnya, aku menghabiskan waktu dalam cand tawa. Jujur, aku tak terpikir apapun selain aku harus menenangkan diri agar tidak terjadi kepanikan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi, di depan kamar operasi, bayang masa depan yang mungkin akan membuatku sedih berkelebat dengan cepat. Tapi kemudian aku sadar, laki-laki yang telah Allah ciptakn untukku (yang sampai saat ini aku belum tahu, who is he?) pastilah laki-laki terbaik, yang akan menerimaku apa adanya. Menerima kekuranganku, dan mengakui lekebihanku. Bukankah begitupun adanya aku? Pasti Allah telah mendesain sedemikian rupa, agar aku sanggup menerima segala sisi jodohku. Yang baik dan yang buruk, yang kurang dan yang lebih, apapun. Jodoh bukanlah sekedar penerimaan fisik, meski itu juga salah satunya. Aku akui itu. Namun aku yakin, ada banyak hal penting yang lebih dari sekedar kesempurnaan fisik yang harus diperhitungkan.

Maka aku kembali pasrah, Bismillaah...aku niati sebagai ibadah proses operasi ini. Apapun yang terjadi, mudah-mudahan itulah yang terbaik dari Allah. Seperti yang mas Ve sering katakan, apapun sebenarnya adalah takdir dan pilihan. Hidup adalah takdir, tapi menjalani hidup dengan lebih sehat adalah pilihan.

I think that is all