Sabtu, 26 Juli 2008

MENUNGGU ATAU MENJEMPUT?

Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat percakapan serius dengan teman lama. Dia telah menikah, dan baru dikaruniai seorang putra. Awalnya kami bicara ngalor-ngidul tanpa arah, hingga akhirnya masalah jodoh jadi bahan perbincangan.

Teman saya ini datang ke pengajian tersebut dengan seorang temannya, sebut saja Mbak Gati. Bagi Mbak Gati, jodoh adalah sesuatu yang sudah ada. Kita tinggal menunggu saja.

Pada pernyataan yang pertama, saya sepakat. Tapi pada pernyataan yang kedua, saya kurang sepakat. Bagi saya, jodoh adalah sesuatu yang harus kita upayakan.

-0-

Kawan....
Lepas dari harus dicari atau cukup ditunggu, saya ingin membicarakan tentang dua kata ini: MENUNGGU atau MENJEMPUT.

Hidup di dunia ini fana. Pasti akan ada akhir dari semuanya. Kematian adalah fakta tak terbantahkan mengenai akhir dari sebuah kehidupan.

Kematian pasti ada. Pasti telah disiapkan untuk kita. Sama juga dengan jodoh, jodoh pasti ada. Pasti telah disiapkan untuk kita. Apakah untuk menghadapi hal-hal tersebut, cukup hanya dengan menunggu waktunya datang pada kita saja?

Bagi saya, TIDAK. Kematian tidak cukup hanya ditunggu, tapi harus dijemput. Mungkin bahasa yang lebih halus adalah disiapkan.

Kawan....
Menunggu adalah aktivitas pasif yang sangat membosankan. Sebaliknya, menjemput lebih bermakna proaktif akan keberhasilan sesuatu. Dan itu sangat menyenangkan. Sebab itu berarti, kita mempersiapkan diri untuk menerima hasil akhir dari apa yang sedang kita lakoni.

Meski barangkali hakikatnya sama (sama-sama menuju hasil akhir), tapi menjemput tetaplah memiliki nilai lebih dibanding sekedar menunggu.


Kawan...
Dengan menjemput, kita terpacu melakukan banyak hal agar apa yang ingin kita capai, bisa kita capai dengan makna lebih. Tapi jika hanya menunggu, maka kita hanya akan menerima apa yang memang telah disiapkan untuk kita. Tak inginkah kita merancang apa yang ingin kita dapatkan??

Menunggu atau menjemput??? Pilihan ada di tangan kita sendiri. Salam

Kamis, 17 Juli 2008

PERTEMUAN ITU....

Hari ini saya diutus oleh Bapak Kepala Madrasah untuk mengantarkan data ke Kantor Departemen Agama Kabupaten Banyumas. Di pertigaan dekat Puskesmas Pekuncen, anak-anak kecil nan imut naik ke dalam mikrobis yang saya tumpangi juga. Dikawal oleh dua orang guru, mereka pulang ke rumah mereka masing-masing setelah hampir seharian menempuh 'pendidikan' Taman Kanak-kanak.

Sampai di pertigaan Karanganyar, anak-anak kecil itu turun. Di pertigaan itu, orang tua anak-anak kecil itu sudah menunggu. Dengan tatap mata bangga dan penuh kerinduan, para orang tua itu menyongsong putra-putrinya yang baru pulang.

Dari kejadian yang hampir selalu saya temui itu, saya tahu, ternyata, namanya pertemuan, apapun itu, tetap menjadi sesuatu yang dinantikan. Seorang ibu yang tak sampai 10 jam 'kehilangan' putra-putrinya (sebab putra-putri itu bersekolah), sangat menantikan kepulangan mereka. Selalu rindu. Selalu kangen. Apalah lagi yang sampai berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun tak bersua. Pastilah rasa rindu itu menggunung sangat tingginya. Menyesakkan dada, dan seringkali, meledak dalam tangis bahagia saat benar-benar berjumpa.

Aduhai, namanya pertemuan...
Seorang ibu pasti selalu mendamba bertemu dengan putra-putrinya. Seorang istri mendamba bertemu dengan suaminya, seorang anak juga selalu mendamba bertemua dengan orang tuanya.

Saya juga mendamba bertemu dengan saudara-saudara yang saya temui dalam dunia maya ini. Kapankah tiba saatnya, kita saling jumpa? Mungkin ada ide-ide sederhana, yang dapat kita realisasikan, agar tercipta perubahan yang lebih baik untuk kehidupan kita bersama.

Dan...

Sebagai makhluk Tuhan, dambakah kita berjumpa dengan Pencipta kita? Sudah mempersiapkan apakah untuk menyongsong perjumpaan dengan-Nya kelak?

Jauh, di lubuk hati kita yang terdalam, kita pasti merindukan bertemu dengan-Nya. Bertemu dalam keadaan baik, ridlo dan diridloi. Sudah siapkah??? Kita masing-masing yang bisa menjawabnya.

Rabu, 09 Juli 2008

SETENGAH TAHUN...

Wah, lama sekali ga posting tulisan di mimpisyurga, rasanya kangen banget. Kangen ingin berbagi dengan sidang pembaca semuanya.

Bagaimana kabarnya, sidang pembaca semua? Semoga baik-baik saja. Syukur Alhamdulillah.

Beberapa minggu berlalu sudah, kini kita memasuki bulan baru. Dengan semangat baru, dengan rencana baru, harapan baru. Apa yang sudah berlalu, semestinya menjadi pelajaran berharga untuk lebih baiknya waktu-waktu yang akan datang.

Subhanallah…
Setengah tahun sudah di tahun 2008 ini. Apa yang sudah saya dapatkan? Banyak. Banyak sekali yang sudah saya dapatkan. Hanya saja, tidak semua yang saya dapatkan itu, saya cermati dan saya resapi. Sehingga, terkadang, ada kesalahan-kesalahan yang mestinya diperbaiki, luput dari perhatian. Sehingga lain waktu, terpaksa harus terulang. Ada kejutan-kejutan kecil mestinya layak disyukuri, berlalu tanpa kesan. Masih untung, jika ingat dan kemudian bersyukur, meski (mungkin) sudah terlambat.

Setengah tahun sangatlah lama. Ah, apalah lagi setengah tahun. Bahkan sedetik yang telah berlalu pun, tak akan mungkin lagi bisa digenggam. So? Seharusnya, dengan kesadaran ini, saya menjadi orang yang sangat berhati-hati dengan waktu. Tapi kok ya… sulit sekali, yah?

Di akhir tahun 2007 yang lalu, saya sempat merumuskan rencana-rencana. Dan ternyata, sangat sulit mewujudkan rencana-rencana itu tanpa berani bekerja keras. Yang ada, waktu demi waktu berlalu sia-sia. Astaghfirullah…

Apa lagi, yah? Kok bingung sih, ngobrol sendirian seperti ini. J
Oh ya, saya mendapatkan sesuatu yang biasa, tapi menjadi luar biasa saat ditelaah dengan lebih cermat.

Apa itu? Alam. Ada apa dengan alam? Ternyata, alam terkembang, benar-benar, harus dijadikan sebagai guru. Teringat dengan salah satu kalimat dalam salah satu edisi majalah Annida, alam terkembang, jadikanlah ia guru, sayang.

Ya, alam benar-benar menjadi guru. Gemericik airnya, hembus lembut anginnya, terjal tebing-tebingnya, hamparan rerumputan, pohon-pohon, jalan-jalan….

Semuanya. Cobalah luangkan waktu barang satu dua menit untuk menyaksikan sekeliling kita, dan lihatlah, ternyata, mereka mengajarkan bagaimana caranya kita menjalani hidup ini dengan baik. Serasi dan penuh harmoni. Sungguh, indah sekali!

Inti dari tulisan ini: pandai-pandailah memanfaatkan waktu untuk berguru kepada alam

See you…
Wassalam

SAAT PENGLEPASAN ITU…

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 17 Juni 2008, sekolah tempatku bekerja, mendapat undangan penglepasan pengawas pendidikan agama Islam dari PPAI kecamatan Pekuncen. acara penglepasan itu ditempatkan di salah satu dari dua belas Madrasah Ibtidaiyah yang ada di kecamatan Pekuncen; tepatnya di MI Ma’arif NU 01 Banjaranyar. Dalam undangan, tertera waktunya pukul 08.30 WIB.

Kami pun berangkat. Sesampainya di sana, jarum jam menunjuk angka 08.45 WIB. Dan ternyata, acara belum dimulai.

Di satu sisi, kami senang, sebab itu berarti, kami belum terlambat. Tapi di sisi lain, kami; khususnya saya; menyayangkan hal ini. Telah bertahun-tahun, kebiasaan molor waktu itu berlangsung, dan entah harus dimulai darimana untuk memperbaikinya. Sebab hal ini telah menjadi semacam budaya, dan parahnya, telah melembaga. Maka bila hanya satu dua orang saja yang berpikir harus on time, apalagi yang ingin on time adalah kalangan bawah, besar kemungkinan, hal itu sulit diwujudkan.

Sekian banyak waktu terbuang percuma. Semestinya, banyak hal bisa dilakukan dalam rentang waktu yang sedemikian lama itu. Tapi kami tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu. Menunggu siapa? Menunggu apa? Menyakitkan sekali menjadi orang kecil dengan idealisme tinggi.

Menit demi menit berlalu begitu menjemukan. Kami kehabisan bahan lelucon. Akhirnya kami pasrah, disekap gelisah menunggu beliau hadir; sehingga acara ini bisa dimulai.

Jarum jam menunjuk angka 10.30. Orang yang dinanti pun tiba. Acara dimulai. Ah, betapa menyenangkannya menjadi seorang yang dipandang penting. Seolah, bebas akan hadir kapanpun, toh, acara hanya akan dilaksanakan bila yang berkepentingan rawuh. Whaduh, sepicik itukah? Tidak, tidak, pastilah tidak sepicik itu. Kalimat itu hanyalah sebuah protes kecil dari orang kecil, yang hanya memiliki ide-ide kecil, untuk terjadinya perubahan-perubahan yang meskipun kecil, tapi semoga berarti.

Bila saja kita bisa lebih bijak dalam memanfaatkan waktu demi waktu, saya yakin, akan sangat banyak karya berharga yang bisa kita hasilkan.

Setidaknya, bila terjadi kesalahan, masih cukup waktu untuk memperbaikinya. Saya rasa, demikian adanya. Memang membuat sebuah perubahan ke arah yang baik, membutuhkan perjuangan keras. Tidak bisa santai dan asal. Tapi harus serius dan direncanakan secara jelas. Dan yang jelas, saya merindukan budaya tepat waktu. Ada saran???

Senin, 07 Juli 2008

TANGGAL 1 JULI 2008

Semalam (Senin, 30 Juni 2008; pukul 21.00), ada yang meninggal di RW tempatku tinggal. Seorang kakek, berusia sekitar 76 tahun. Sudah cukup sepuh, dan mungkin sudah sepatutnya meninggal. Yang pasti, janji yang telah ditandatangani saat di alam kandungan dahulu, telah sampai pada ketentuannya. Ketentuan waktu, tempat, dan proses kematian yang harus dilakoni.


Saya mengenal sang kakek, tapi tidak terlalu dekat. Berinteraksi pun, hampir-hampir tidak pernah. Hanya sesekali saya lihat sosoknya yang tinggi jangkung, bila saya akan bepergian. Kebetulan rumah kami berjauhan. Rumah saya di ujung utara RW kami, sedangkan rumah beliau di ujung selatan. Terpisah oleh rel kereta api yang melintang arah timur-barat.


Maka tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor, saya berta’ziyah. Pengennya bisa ikut menshalatkan, tapi apalah daya; keadaan tidak memungkinkan. Jadilah hanya bisa mendoakan semampu saya.


Lalu cerita pun bergulir. Sang kakek yang sangat gemar meminta maaf pada sesama, bahkan menjelang sakaratul maut pun, masih bisa meminta maaf dengan yang lain. Konon ceritanya, setiap kali ada orang menengok beliau, tak lupa, beliau akan meminta maaf. Sampai di sini saya berpikir, alangkah bersih interaksinya dengan yang lain. Bagaimana dengan saya?


Kemudian cerita tentang sakitnya. Sang kakek; awalnya menderita sakit maag. Maag yang diderita sang kakek, adalah maag yang bisa dikatakan sudah sangat kronis. Bahkan; menurut sumber berita yang saya terima; sakitnya ini telah merobek lambungnya. Lambungnya pecah. Akibatnya, darah mengalir terus menerus dari bagian tubuh bagian bawah. Sampai sang kakek harus menjalani transfusi darah, tapi ternyata tak cukup membantu. Darah yang keluar, tetap tak terganti oleh darah yang masuk. Tentunya bisa dibayangkan; bagaimana kotornya sang kakek saat di rumah sakit? Badan dan pakaian belepotan darah, belum lagi bila hajat untuk buang air itu datang. Astaghfirullah, na’uudzubillah. Sakit kok ya aneh-aneh saja, sekarang ini, yah???


Dan Allah Maha Sayang. Barangkali itu maksudnya; ketika akhirnya; penderitaan sakit yang sedemikian rupa; dicukupkan sampai tadi malam.


Bukan hak saya untuk mengulas keseharian sang kakek, hingga harus diuji dengan sakit yang sedemikian itu. Yang menjadi maksud saya menuliskan ini adalah, telah seberapa banyak dan berkualitaskah, bekal yang telah kita kumpulkan untuk menjumpai Allah saat waktunya tiba nanti?


Kematian yang menjemput sang kakek (semoga Allah mengampuni beliau, aamiin) hanyalah satu contoh model kematian yang mungkin akan menimpa kita. Masih sangat banyak kasus kematian yang lain. Tapi semuanya, memberikan pelajaran berharga bagi kita yang masih hidup.


Kematian adalah misteri. Kedatangannya tak ada yang bisa menduga. Kapan, dimana, dan dengan cara bagaimana. Boleh saja terjadi, sedetik setelah bercengkrama dengan pasangan kita; ajal menjemput. Bisa juga, setelah bertahun-tahun mengidap sakit, barulah maut menyapa. Atau mungkin, pergi begitu saja tanpa pesan saat dibuai mimpi.


Karena misterinya yang sedemikian itu, maka menjadi suatu keharusan, untuk kita rajin-rajin mengumpulkan bekal menghadap Yang Kuasa. Membiasakan diri berbuat baik selama hidup, agar mudah-mudahan, dimudahkan saat ajal menjemput. Karena kebaikan bukan hanya untuk diketahui, tapi untuk dilaksanakan dan dibiasakan.


Sudahkah kita membekali keranjang kehidupan kita dengan persembahan terbaik untuk Yang Maha Kuasa?

TANGGAL 30 JUNI 2008

Maasyaa Allaah…

Betapa nikmatnya saat sehat itu. Makan apapun jelas rasanya. Istirahat bisa dirasakan kenyamanannya. Membaui apapun, jelas nama baunya. Dan kenikmatan-kenikmatan seperti itu, sangat terasa sekali saat tidak bisa dirasakan.


Akhir-akhir ini, kesibukan memojokkan saya pada sudut gelap bernama stress. Berangkat ke kantor, harus lebih awal dari teman-teman kerja yang lain. Pulangnya, harus ikhlas menjadi juru kunci. Hal itu berlangsung terus-menerus selama kurang lebih dua minggu. Dan barangkali, apa yang saya rasakan saat ini, adalah salah satu sikap paling puncak dari protes fisik saya karena dipaksa bekerja sedemikian keras. Jangan tanyakan honor lembur, karena tempat kerja saya bukanlah tempat kerja yang menjanjikan itu semua. Semuanya berlalu begitu saja, dan saya sangat menerima ini, karena saya tahu persis kondisi keuangan di tempat saya bekerja. Saya bukan bendahara, hanya secara kebetulan, sering dicurhati tentang masalah kondisi keuangan oleh bendaharanya.


Begitulah. Dan puncaknya adalah minggu ini. Makan pepaya yang sudah matang; sungguh segar dan ranum jingganya; rasanya entah seperti makan apa. Hambar. Tidur harus bersedia tidak nyenyak. Sesekali, kesulitan mendapatkan udara segar, menjadi alarm alami kesadaran saya untuk segera bangun. Kerja apapun, rasanya tak nyaman. Bersin berkali-kali, hidung meler, dan kepala pening. Aduh, aduh, aduh, sungguh sangat nikmat sekali melakukan semuanya saat badan fit dan sehat.


Tapi roda kehidupan harus bergulir, dan setiap orang pasti mendapatkan giliran untuk diuji. Ada kalanya, kesehatan dikurangi, agar saat sehat kembali nanti, bisa lebih bersyukur dengan kesehatan itu. Ada kalanya materi diseretkan (baca seperti membaca peti), agar saat materi melimpah lagi nanti, lebih tahu, bagaimana cara mensyukuri keberadaan si materi itu. Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.


Maka, akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi saya saat ditimpa sakit ini, selain menikmatinya. Menikmati dengan sepenuh hati, dan wajib bersyukur, karena masih diberi kesempatan hidup. Diberi kesempatan membuat rencana-rencana, apa yang mestinya dilakukan saat benar-benar sehat kembali nanti.


Mudah-mudahan sakit ini hanya sebagai ujian. Sebagai alat untuk merontokkan dosa-dosa, meningkatkan derajat, mendapatkan pahala, dan diampuni dosa-dosa saya. Aamiin.