Kamis, 18 Desember 2008

Bikin Cerpen? Yuk...

Ada tawaran menarik.
MEMBUAT CERPEN
Wuih, siapa sanggup menolak? Tapi masalahnya, sekarang saya dalam keadaan tidak sanggup memeras otak untuk mengurusi huruf demi huruf itu. Jangankan menjadi sebuah cerpen, menjadi sebait puisi saja tidak. Wah, payah!
Cinta seharusnya cukup menjadi motivasi untuk melakukan apapun, yang terbaik, sebagai bukti bahwa keberadaan sang kekasih bukan menjadi pengganggu, tapi justru menjadi pemicu dan pemacu berkarya sebanyak-banyaknya dan sebagus-bagusnya. Entahlah.
Di awal tahun ini, saya telah meniatkan diri, agar salah satu tulisan saya, bisa tampil di salah satu media. Tapi sampai detik ini, masil 0 (nol) buktinya. Memalukan!
Bikin Cerpen? yuk...

Thanks My Heart....

Thanks My Heart
Atas cinta yang kau curahkan padaku. Cinta yang menyadarkanku, sungguh, tidaklah Allah menciptakanku seorang diri.
Thanks My Heart
Atas rindu yang kau selimutkan untukku. Rindu yang mengingatkanku, bahwa tak sepatutnya saya bermuram durja menghadapi hari-hari. Sebab ada hatimu, yang senantiasa siap mendengar jerit rinduku.
Thanks My Heart
Atas sayang yang kau payungkan di atas kepalaku. Sayang yang membuatku merasa menjadi satu-satunya yang berharga dalam hidupmu.
-0-
My Heart...
Entahlah. Saya hanya merasa nyaman dengan menyematkan dua kata itu untuk seorang lelaki yang telah meniatkan diri menemani sisa hidupku kelak. Ce ile... bahasanya.... ehm! ehm! ehm!
Ssst... dilarang protes. Meskipun saudara mungkin merasa mual tak tertahan setelah membaca beberapa baris kalimat di atas itu, bukan saatnya untuk muntah di sini. Muntahlah di kamar mandi. Atau di luar warnet ini. Lha, kok, ngomongin apa, seh...
Saya hanya ingin mengungkapkan seluruh rasa yang saya miliki saat ini untuk dia; lelaki yang kepadanya telah saya 'iya' kan ajakannya untuk menikah. Dia pemberani, bukan?
Begitu banyak lelaki lain telah mapan. Usia cukup, materi berlimpah, tapi niat untuk menikah saja masih ketar-ketir. Takut tak bisa membahagiakan istri, katanya.
Lelaki yang saya sapa 'my heart', bukan lelaki istimewa.
Usia? Masih sangat muda dibanding yang telah memasuki kepala 3. Saya bahkan lebih tua beberapa bulan dari dia.
Materi? Ah, dia sama saja sepertiku. Tertatih-tatih memenuhi kebutuhan hariannya. Bisa makan saja untung, mengingat tempat kerjanya bukan wilayah basah yang bisa membuatnya kaya dalam beberapa detik.
Wajah? Tak terlalu tampan. Sama sepertiku yang juga tidak terlalu cantik. hehehe....
Romantiskah? Tidak juga. Kata-kata yang dirangkainya menjadi kalimat-kalimat; yang kemudian di-sms-kannya pada saya, tak lebih dari kalimat sederhana tanpa muatan puitis sama sekali.
Lantas, apa yang istimewa? Dia; lelaki itu; berani mengajakku menikah. Sedangkal itukah? Kenyataannya, tidak semua lelaki seusia dia sanggup membuat keputusan 'senekad' itu. Penghasilan pas-pasan, dari keluarga sederhana pula, apa yang akan dibanggakan?
Komitmen. Dia berani berkomitmen untuk menjadi imamku kelak. Komitmen ini membawa kami pada keseriusan menjalani hubungan ini. Belum berbilang tahun sejak kami bertemu di chatroom saat itu, dan sekarang; kami sedang bersiap menuju hari bahagia itu. Mungkin terlalu terburu. Entahlah. Saya hanya tahu, saat hati ini telah niat untuk serius, dan ada yang berani menemaniku menantang badai kehidupan kelak, mengapa harus ditolak?
Kami bukan yang terbaik untuk masing-masing kami, tapi kami punya cita-cita dan cinta untuk senantiasa melakukan yang terbaik untuk satu sama lain.
Para pembaca, doakan kami. Agar perjalanan menuju hari bahagia itu, lancar tak berhalang. Aamiin.

Bingung...Bantuin, Donk...

Terlalu sering seperti ini. Gimana, donk...



Saya belum terlalu bisa 'mengendalikan' blog saya ini. Setiap kali posting, selalu terlambat satu hari. Misalnya saya posting hari ini (Jum'at, 19 Desember 2008), eh, tak tahunya, dalam tampilan hasil posting itu, tercatat Kamis, 18 Desember 2008.



Bagaimana mengatasinya? Terimakasih atas bantuannya. Silakan kirim ke email: diajeng_nida@yahoo.com



Terimakasih sekali lagi. Salam

Wah...Selamat Ya...

Hari ini mas Aveus Har menikah. Berdasarkan sms mas Ave beberapa saat yang lalu; demikianlah yang dinyatakannya. Mas Ave akan menikah pada tanggal 19 Desember 2008. Hari ini, Jum'at. Wah...Selamat ya...
Baarkallaahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'aa bainakumaa fii khaiir
Semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam keberkahan dan kebaikan. Aamiin
Itu saja dari saya. Terimakasih. Salam.

Sabtu, 13 Desember 2008

Tulisan Tanpa Judul

Sangat tidak dewasa saat saya memutuskan untuk menumpahkan 'marah' pada mereka. Tahu apa, mereka, tentang tujuan saya membuat suatu 'kebijakan' ? Mereka hanya merasa menjadi pihak yang dirugikan. Maka mereka merasa tidak bersalah sama sekali saat melakukan aksi protes itu. Dan kesabaran saya menguap.
Semua berawal dari niat untuk mengambil nilai. Yang dengan pengambilan nilai itu, mereka (anak-anak kelas V) harus menguasai seluruh pelajaran yang telah dibahas.
Ada satu bacaan dalam bahasa Arab. Bacaan itu telah ditulis, dan telah dibahas artinya bersama-sama. Lalu ada waktu beberapa menit untuk 'mengendapkan' hasil pembahasan itu. Selanjutnya buku ditutup.
Saya membuat 'lintingan' sejumlah anak, berisi nama-nama anak kelas V. Dan pengambilan nilai itu pun dimulai.
Saya ucapkan sebuah kata dalam Bahasa Arab, lalu saya ambil salah satu lintingan. Nama anak yang berada dalam lintingan yang terambil, saya sebutkan. Si anak bertugas menyebutkan arti dari kosakata Bahasa Arab yang telah saya ucapkan sebelumnya. Begitu seterusnya untuk lintingan kedua, ketiga, hingga lintingan terakhir. Putaran pertama selesai.
Memasuki putaran kelima, mulai terdengar kasak-kusuk tidak mengenakkan. Kita sebut saja tokoh kita ini Faqih dan Usman. Kebetulan, saat sebuah kata ditanyakan pada Faqih, Faqih tidak dapat menjawab. Sementara Usman menjadi gemas, karena bagi Usman, soal itu mudah, sedangkan tadi Usman mendapatkan soal yang dirasakan sulit.
AKhirnya, kericuhan tak terhindari. Anak-anak (Terutama Usman) merasa diperlakukan tidak adil. Darahku mendidih, mataku menegang, dan menggelegarlah kemarahanku mendapati protes dari anak-anak. Saya rasa ini tidak berlebihan, mengingat beberapa hal (aduh, maksa banget kesannya):
1. Saya sangat jarang marah pada anak-anak. Jadi boleh, lah... sesekali meluapkan kesal. (Aduh, ini hal yang sangat memalukan)
2. Kosakata-kosakata yang saya ajukan, benar-benar telah dibahas sebelumnya, dan anak yang mendapatkan soal itu, benar-benar karena hasil pengacakan lintingan.
3. Niat hati juga tidak untuk berlaku tidak adil pada beberapa anak diantara mereka.
Wah, saya bisa marah juga, yah? Saya sendiri kaget, mendapati bahwa saya tak bisa lagi mengendalikan emosi di hadapan anak-anak. Bagaimana lagi, benar-benar enek rasanya, dituding telah bersikap telah tidak adil, pilih kasih, dan sebangsanya.
Anak-anak terdiam mendengar luapan perasaan saya:
"Tolong, anak-anak....Jangan menganggap ibu telah berlaku tidak adil pada kalian. Kalau kalian memang telah menguasai materi yang kita pelajari tadi, mendapatkan soal apapun, mestinya kalian akan tetap bisa menjawab. Ibu sama sekali tidak memilih-milih soal untuk diberikan pada kalian. Ibu sama sekali tidak merencanakan untuk memberikan soal yang sulit kepada si A, sementara soal yang mudah untuk si B. Tidak. Sama sekali ibu tidak melakukan itu. Kalian mendapatkan soal tertentu, semata-mata karena hasil diacak. Sekali lagi tolong, jangan menganggap ibu berbuat tidak adil. Bila kalian memang telah menguasai materi, maka diberi soal bagaimanapun, pasti akan tetap bisa menjawab".
Tekanan suaraku menginjak nyali anak-anak seketika. Ruangan dicekam hening, hanya suaraku yang menggetarkan benda-benda di dalamnya. Tak pernah sebelum anak-anak protes atas 'kebijakanku', saya menggunakan nada do tinggi untuk menyampaikan materi.
Saya membiarkan hening merajai kelas kami beberapa detik lamanya. Setelah saya merasa cukup tenang, pengambilan nilai dilanjutkan. Hasilnya, ada satu anak yang akhirnya ngambek tidak mau menjawab. Saya biarkan dia berbuat begitu, tanpa merasa perlu membujuknya sama sekali. Sesekali, saya merasa perlu bersikap tegas pada warga kelas yang sedang belajar bersama-sama ini: agar mereka tahu, bahwa ibu guru mereka melakukan suatu hal bukan tanpa perhitungan. (Aduh, sok bijak... hehehe.....)
Apakah para pembaca pernah marah juga? Ceritakanlah, agar kita bisa berbagi. Salam

Senin, 17 November 2008

AKU CEMBURU

Bahkan sampai lupa menggunakan kata 'saya' untuk memberi judul tulisan ini. Akan lebih santun, bukan, bila kita membaca: "SAYA CEMBURU" daripada "AKU CEMBURU".

Tapi kesadaran itu, toh tidak menuntun saya untuk merubah judul tersebut. Biarlah tetap seperti itu.

Sebelum saya merasakan sendiri; bagaimana terbakarnya jiwa yang cemburu itu; saya selalu tak habis pikir setiap kali ada yang membicarakan cemburu. Masa iya, hanya sebab sepele, bisa tersulut sedemikian rupa? Masa iya, hanya karena bertemu dengan 'sang rival' saja, hati panas bukan main? Masa iya, .....

Begitulah. Selalu tak percaya; bahkan saat dulu ada yang mencemburui saya sampai sebegitunya. Ah, mengesankan sekali cerita saat itu. :-)

Syukurlah, saya boleh juga merasakan hal itu. Ternyata memang, tak enak sama sekali menu dengan nama CEMBURU ini.

Kami (saya dan calon suami; mas D, begitu saya menyebutnya) sedang berbincang santai tentang ini dan itu.

Dengan riang, saya bercerita tentang kejadian beberapa hari yang lalu di sekolah. Sehari sebelumnya, saya bertemu dengan mas D di Purwokerto. Saat itu, kami menunggu kedatangan seorang teman (mba Y, saya memanggilnya demikian) di masjid.

Saya dan mba Y 'berkoordinasi' lewat sms, akan ketemuan dimana. Akhirnya disepakati, kami akan ketemuan di masjid At-Taqwa Kebondalem Purwokerto. Waktu berlalu dalam iringan hujan. Sesekali petir menyambar. Hingga akhirnya mba Y berkirim sms....

"lagi dimana, sih? jadi ketemuan, ga? saya dah di masjid sejak tadi..."

"di masjid, mba. masjid At-Taqwa Bondalem, kan? disini, mba, di deket t4 parkir"

Lalu sms balasan dari mba Y, sungguh mengejutkan saya.

"saya dah pulang. maaf"

Pulang? Apa maksudnya? Padahal saya sudah berusaha mengecek keberadaan mba Y di dalam masjid. Masjid At-Taqwa Kebondalem Purwokerto tidaklah terlalu besar, sehingga kalau saya harus berkeliling pun, masih memungkinkan.

Lalu esok paginya, saya bertemu mba Y di sekolah. Saya protes habis-habisan: " mba, ngerjain saya, yah? jahat banget, tau ga, sih? kemarin saya bener-bener ngecek ke tempat jamaah wanita, takutnya mba lagi nyungsep di sana..."

Dan mba Y hanya menanggapi dengan senyum jail. Jahat!

-0-

Kejadian pagi saat itu lah yang saya ceritakan kepada mas D dengan riang.

Dan jawaban mas D, sungguh di luar dugaan saya.

"Mba Y di Masjid Agung, saat itu ...."

Saya pikir, mas D akan menanggapi :"Oh, begitu? wah, pasti mba Y seneng banget, yah, bisa ngerjain cintaku habis-habisan..."

"Oh, mba Y cerita ke mamas?", pertanyaan konyol itu akhirnya terlontar.

"Iya, saat cintaku berangkat pagi-pagi kemarin itu, mba Y teriak-teriak, kan? Itu mamas lagi telfon beliau...."

Ah. Batin saya terluka. Terbayang lagi kejadian saat itu. Pagi hari setelah sore hari sebelumnya kami bertemu, saya berangkat ke sekolah pagi-pagi. Lebih pagi dibanding biasanya. Sampai di jalan, sebelum saya menyeberang rel kereta api, banyak orang menyarankan agar saya tidak lewat jalan alternatif. Becek sekali, kata mereka. Saya memutar otak. Aha, lewat rel kereta api saja. Tapi, sepatu saya?

Saya takut terpeleset saat melewati jembatan yang membentang di atas sungai itu. Tapi Alhamdulillah, Bapak ada di dekat rel, sedang 'menonton' proyek pembuatan terowongan yang akan menghubungkan dua desa di tempat kami. Maka saya minta tolong pada Bapak, agar berkenan menyeberangkan saya di jembatan.

Dengan sepatu berhak lebih kurang lima sentimeter, saya menyebereang jembatan rel kereta api itu. Saya berpegang erat pada lengan Bapak. Sebelum sampai di jembatan, mba Y berteriak-teriak dari depan rumahnya sambil menerima telfon dari seseorang.

"Wah, gasik, neh...pake seragam baru, lagi..."

"Ya iya, lah, harus semangat, gitu lhoh", saya menjawab sekenanya.

Dan sore ini (16 November 2008), saya tahu, ternyata yang sedang ngobrol sama mba Y pagi itu adalah mas D.


Ah....

Cemburu? Entahlah. Tapi demi membayangkan kejadian saat itu, ada rasa sakit yang menyelusup. Sebenarnya ini tak beralasan sama sekali, bagaimanapun, kami (saya dan mas D) telah sangat percaya satu sama lain.

Saya kesulitan mencari jalan untuk berangkat, pada saat yang sama, mas D tengah begitu asyik bercengkrama di telfon dengan teman sekantor saya.

Sudahlah. Sudahlah.

Keriangan saya menguap entah kemana, begitu mas D menyatakan bahwa saat saya berangkat itu, mas D sedang ngobrol dengan mba Y. Saya tak punya alasan tepat untuk cemburu, tapi tetap saja ada rasa yang tidak enak dalam hati saya. Padahal juga, mas D belum sepenuhnya menjadi milik saya. Punya hak apa, saya, membatasi pergaulannya? Toh, bila pun kami telah bersama-sama kelak, saya juga tidak mungkin melarang mas D berkomunikasi dengan rekan-rekannya sebab manusia butuh bersosialisasi.

Ketidakriangan saya, mungkin dirasakan juga oleh mas D di seberang sana. Saya hanya menjawab sekedarnya saat ditanya. Bener-bener muka saya terekuk sedemikian dalam, bibir saya manyun, dan keceriaan yang beberapa detik sebelumnya masih mewarnai pembicaraan kami, menguap begitu saja.

Memalukan.

Childish.

Kebetulan juga, jaringan telfon sedang 'error', jadi saat telfon terputus, lalu mas D menghubungi lagi, tidak segera saya angkat. Hati saya masih panas.

Jujur, saya merasa tidak dewasa sekali memperturutkan rasa mencemburui teman sendiri? Aha, bisa-bisa tambah diledek habis-habisan.

Untunglah, saya pernah mengalami menjadi pihak yang sangat dicemburui. Saat itu, saya masih saja bisa beralasan: halah, gitu aja kok cemburu?

Ternyata, cemburu memang makhluk aneh, yang tak pandang situasi dan kondisi kala hadir. Begitu saja ia datang, dan bila diperturutkan, akan meninggalkan malu dan sesal tak berkesudahan.

So?

Bagi para pembaca yang mudah cemburu, tak apa, itu wajar, asal jangan berlebihan. Apapun yang berlebihan, tak akan baik akibatnya.

Bagi para pembaca yang punya kekasih pencemburu, berbahagialah, sebab itu berarti, kekasih Anda benar-benar mencintai Anda. Hargailah rasa cemburunya, dan jangan Anda sengaja membakarnya.

Justru, bila pasangan Anda tak pernah mencemburui Anda, patutlah ditanyakan: "Cinta atau tidak, toh, sebenarnya?"

I think that is all.

Thanks to: mas D

HARGAILAH ORANG LAIN .....

Hargailah orang lain, maka engkau akan dihargai.
Demikian ungkapan salah seorang guru.

Beliau bercerita banyak tentang kondisi kantor dimana beliau bekerja. Bagaimana sebuah sikap arogansi menjadi hal yang sangat memuakkan. Hingga akhirnya, kesabaran sang guru pun habis.

Persisnya peristiwa, saya tidak bisa menceritakan bagaimana. Hanya kalau menyimak ceritanya, tergambar dalam benak saya, alur cerita seperti ini: Sang guru sedang sibuk dengan pekerjaannya sendiri, ketika teman kerjanya (kebetulan dengan usia yang jauh di atasnya), menyodorkan sebuah pekerjaan.

Tentu saja, pekerjaan yang disodorkan itu tak bisa lekas dikerjakan.

Sang teman marah. Menganggap bahwa sang guru 'sok sibuk' lah, 'sok pintar' lah, dan 'sok-sok' yang lain.

Uhhh...greget saya menyimaknya.

Beruntunglah, sang guru mengambil sikap dengan 'menasehati' sang teman. Sehingga, arogansi di kantornya bisa dihentikan.

Bila saya dalam posisi sang guru, barangkali saya hanya akan diam, sekedar menggerutu di dalam hati. Maka akibatnya adalah, 'penindasan' akan terus-menerus terjadi.

Mencuplik istilah Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi-nya, pelajaran moral yang dapat saya petik dari cerita sang guru tersebut, sedikitnya ada tiga:

1. Kemungkaran, sekecil apapun, haruslah dihentikan.
2. Yang tua tak harus lebih dewasa. Sebab, menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan.
3. Kalau mau membebankan pekerjaan pada seseorang, lihat0lihat situasi dan kondisi, donk...... :-)

So?

Hargailah orang lain, maka dirimu juga akan dihargai.

NOW OR NEVER

Saya berdiri dalam ruang yang di atasnya atap begitu luas menaungi dan kakiku menjejak hamparan yang seolah tanpa batas.

Di sekeliling saya, manusia-manusia pilihan meniupkan ruh-ruh kreativitas agar saya produktif berkarya.

Saya sangat berterima kasih dengan kondisi yang sangat menguntungkan ini. Tapi akhirnya saya sadar, keberadaaan mereka tak cukup memecut semangatku, tak mampu membuatku semakin produktif.

Itu semua, sebab saya masih bergantung!

Berkarya hanya saat diminta, berkreasi hanya bila dipaksa. Ah, kapan mandirinya?

Bayangkan kekonyolan ini!

Untuk membuat judul saja, harus berkonsultasi sana-sini. Minta tips ini itu. Parahnya, minta diberi alternatif judul karya. Payah!

Kapan mandirinya?

Dan saat 'relasi' tersebar di mana-mana, saat 'ilmu' terkumpul, ternyata itu tak juga cukup membuatku produktif berkarya dengan penuh semangat.

Ternyata, faktornya bukan pada manusia-manusia pilihan dengan segudang tips, contoh karya, dan semangat yang terus menerus ditransfer ke dalam jiwa saya.

Faktornya bukan mereka, tetapi SAYA.

Saya yang lebih bertanggung jawab pada akan lahir atau tidaknya sebuah karya. Saya yang bertanggung jawab pada bagus atau tidaknya karya yang saya hasilkan. Saya yang bertanggung jawab, bukan mereka yang harus terus menerus mengawal saya.

Sungguh, tanpa saya sadari, ternyata saya terjebak lagi dalam ketergantungan tanpa alasan seperti saat itu. Sedikit-sedikit minta pertimbangan teman mengenai sebuah persoalan: Bagaimanakah sebaiknya?

Dan ternyata, itu sama sekali bukan hal yang pantas dilestarikan. Sebab masalahnya bukan mereka, tetapi SAYA.

Maka, sedikit demi sedikit, saya kurangi intensitas komunikasi dengan manusia-manusia pilihan ini. Mereka juga terlalu sibuk, tak mungkin mengawal saya terus menerus.

Ah, siapa sih saya, kok bisa-bisanya berharap terus menerus mendapat apresiasi atas apapun yang saya lontarkan?

Ada atau tidak adanya saya, tidak akan berpengaruh pada produktifitas mereka. Maka seharusnya, demikian juga saya.

Jangan! Jangan lagi bergantung pada keberadaan mereka. Mereka (manusia-manusi pilihan itu), tak akan cukup waktu 'mengurus' saya. Maka saatnya tak lagi bergantung pada yang lain.

Bangkitlah! Berdirilah! Berkaryalah!

Itulah sebaik-baik hadiah untuk mereka, atas andil mereka dalam menanamkan ghirah berkarya dalam jiwa saya.

Sekarang berkarya, atau tidak sama sekali!

Thanks to: mas ave, kang ipunk, lintang alit, kang nasspur, mbak afra, ka' dody, mbak win, devi banjar, mas nanang, dan seluruh manusia-manusia pilihan yang tak dapat saya sebutkan satu demi satu.

Kamis, 13 November 2008

Ya atau Tidak

Barangkali bisa dikatakan sebagai tindakan nekad, saat baru beberapa kali saya 'bertemu' dengan lelaki ini (dan itu pun bertemu di chat room), saya menerima ajakannya untuk .... : MENIKAH

Mungkin saya naif. Mungkin saya terlalu gegabah. Mungkin saya sembrono. Mungkin saya lelah menunggu. Saya rasa bukan karena itu semua.

Awalnya, saya tidak ada rasa sama sekali pada lelaki ini. Wajahnya juga tak cakep-cakep amat. Pekerjaan persisnya apa, saya juga belum tahu. Saya hanya tahu, dari cara ngobrolnya di chat room, orangnya enakan. Itu juga mungkin penilaian yang sangat dangkal.

Saya masih tetap menganggap bahwa dia hanya seorang lelaki yang tak lebih dari lelaki lain: SUKA ISENG SAJA. Anggapan itu terus melekat di kepala saya hingga beberapa hari berikutnya.

Hingga akhirnya, kami menemukan titik temu. Ternyata, lelaki ini memiliki seorang teman wanita, yang sang wanita ini juga teman saya juga. Bahkan kami ternyata pernah mengenyam pengkaderan di organisasi yang sama. Dan yang lebih surpise: kami bekerja pada jabatan yang sama di yayasan yang sama. Subhanalloh...

Hingga detik ini, saya masih terkagum-kagum dengan lika-liku hidup dari Allah, yang harus saya jalani, hingga saya bertemu (ataukah dipertemukan) dengan lelaki ini.

Dari teman wanita kami inilah, untuk yang pertama kalinya saya tahu, bahwa lelaki ini serius. Serius ingin membangun rumah tangga dengan saya.

Sejak dulu, saya juga selalu berusaha untuk serius membina hubungan (tentu saja bila saya telah meng'iya'kan). Dengan lelaki ini, entah karena apa, saya merasa nyaman bercakap, nyaman berbincang tentang apapun. Apakah karena latar belakang organisasi yang sama? Apakah karena pekerjaan yang sama? Entahlah.

Maka saya mengiyakan ajakannya. Dan setelah itu, kami membangun rencana-rencana lebih lanjut. Subhanalloh!

Maka, untuk para pembaca yang tak berani menyatakan perasaan, saya sarankan: coba utarakan dulu. Bila jawabannya 'Ya', jangan ragu untuk meneruskan. Bila jawabannya 'Tidak', jangan ragu untuk berhenti, lalu berusahalah lagi. Allah memberi sesuai dengan kemampuan kita untuk menerima. Apapun itu. Seriuslah dalam segala hal, karena segala hal; diciptakan tidak untuk dan bukan untuk main-main.

I think that is all...

Sebab Seorang Kakek

Setelah sekian lama tak menjejakkan ide di mimpisyurga, saat ini saya ingin MENULIS.

Saya awali tulisan ini dengan LAPORAN PERJALANAN. hehehe....

Tadi saat saya pulang dari Bank Rakyat Indonesia, di daerah Parakansingjang, naiklah seorang kakek tua. (ya iya, lah...namanya kakek ya tua... :-) )

Sang kakek, seperti halnya kakek yang lain, tampil begitu bersahaja. Aroma tanah tercium dari tubuhnya. Wajahnya penuh kerut merut beban hidup, dan pakaiannya berkerut di sana-sini.

Tiba-tiba saya terpikir, apakah kakek yang akan mendampingi sisa hidupku kelak; saat saya telah menjadi nenek tua; juga harus serupa itu? Tak bolehkah, kakek pendampingku kelak, tampil lebih rapi dan wangi? Tapi kayaknya emang lucu, yah, ada kakek, pakaiannya 'njithit', dengan parfum paris yang menggoda. Aha, ya tak terlalu begitu, lah.... Nanti malah dikira kakek ganjen, lagi. Repot juga....

Whaduh, sebenarnya mau ngomong apaan si??

Jadi gini, saat ini, saya dalam proses menjadi seorang istri. (ehm). Doakan ya, agar proses ini lancar, bebas hambatan seperti mobil melaju kencang di jalan tol. (Aamiin)

Belum lagi menikah, saya sudah terpikir akan hal itu. Bagaimanakah bila kelak telah menjadi kakek nenek? Akankah tetap semesra saat-saat ini? Akankah tetap serapi saat ini penampilannya? Akahkah tetap seindah saat ini setiap pertemuannya?

Maka kekuatan niat yang suci lagi lurus, mudah-mudahan menjadi jawab dari semua pertanyaan itu. Bila menikah diniati untuk ibadah, maka insya Allah, segala hal yang menjadi bumbu pernikahan kelak, akan menambah indahnya ikatan pernikahan. Konflik yang terjadi adalah bumbu yang sedap agar indahnya romantika pernikahan lebih terasa. Kulit yang berkerut merut, tak akan menjadi soal, sebab pengabdian pada Allah lah orientasi dari pernikahan yang dibangun. Ketiadaan harta bukan halangan untuk bersedekah, anak-anak (yang katanya) rewel, bukan menjadi alasan untuk marah-marah, tapi menjadi cambuk untuk lebih mengoreksi pola asuh dan pendidikan yang kita berikan. Dan sebagainya. Dan seterusnya.

Menikah? Aha, memimpikan saja rasanya indah sekali. Mudah-mudahan seindah kenyataannya nanti. Saat ini, saya sedang bersiap diri menyongsong saat (yang dalam benakku) yang sangat indah itu. Mohon doanya, agar semua berjalan sesuai rencana. Aamiin

KANGEN, NEH...

Assalaamu'alaikum wr.wb.

Puji syukur hanya untuk Allah, akhirnya saat ini saya bisa berbagi dengan sidang pembaca semuanya. Semoga apa yang akan saya tuliskan; setelah sekian lama tak berbagi lewat media ini; bermanfaat untuk semuanya.

Ah, berapa lama saya tak berkunjung ke warnet? Ada banyak peristiwa berlalu begitu saja, ada sangat banyak momen akhirnya tak meninggalkan kesan berarti sebab tak didokumentasikan dengan baik.

Sampai di sini, saya tahu, ternyata, betapa pentingnya menulis. Dan detik ini juga saya tersadar; sungguh tak salah apa yang dikatakan oleh salah seorang teman saat itu: TULISLAH APA YANG KAU LAKUKAN, DAN LAKUKANLAH APA YANG KAU TULIS.

Sebab, menjalani sesuatu yang telah direncanakan (telah ditulis), jauh lebih mudah daripada menjalani sesuatu yang tak direncanakan sama sekali. Dan, menuliskan sesuatu yang telah dilakukan, akan sangat membantu untuk kita mengevaluasi hasil kerja kita itu.

I think, that is all....

Selamat menikmati suguhan saya saat ini.

Wassalaamu'alaikum wr.wb.

Sabtu, 11 Oktober 2008

MEMASAK

Memasak itu identik dengan dunia wanita. Sebetapa pun sibuknya seorang wanita, akan sangat baik bila bisa memasak.

Tak saya sangka sebelumnya, ternyata aktivitas memasak sangat mengasyikkan sekali. Sebelum ini, saya sangat jarang terjun ke dapur. Sebab kebetulan, dapur saya rata dengan ruangan yang lain, jadi tak ada acara terjun-terjun segala. Hehehe...

Bukan tanpa alasan, saya tidak bersibuk-sibuk ria di dapur. Aktivitas di luar rumah, menyita sebagian waktu saya. Pagi sampai siang, saya bermain-main sama anak-anak dan sekian banyak pekerjaan di sekolah. Pulang dari sekolah, hidangan untuk makan siang, selalu sudah tersedia. Saya tak kebagian pekerjaan apapun, selain ikut membersihkan makanan-makanan tersebut dari wadahnya hingga sebersih-bersihnya. Begitulah.

Sorenya, terkadang ada aktivitas sosial lain. Malamnya, begitu juga. Setelah isya, biasanya rasa lelah mulai menyerang. Maka saya tak punya pilihan lain selain beristirahat. Maka bila saya pengen masuk dapur, seharusnya jam setengah dua atau jam satu dini hari, saya sudah bangun. Sebab bila tidak, maka kerjaan dapur akan dibereskan oleh mama. Dan saya, jarang sekali bangun tidur pada jam-jam segitu. Yang sering, saya bangun bersamaan dengan adzan subuh.

Tapi itu dulu. Sekarang ceritanya sudah lain. Ada yang memberikan support luarbiasa untuk saya. Support untuk terus memasak. Dan hasilnya, luar biasa. Saya merasa sedemikian enjoy ketika harus bangun jam setengah dua dinihari, membuat api, menghidupkan tungku, menjerang air, menanak nasi, dan membuat lauk buat sarapan pagi. Sungguh! Menyenangkan sekali.

Meski lelah, tapi saya menikmatinya. Mungkin suatu saat, saya bisa berbagi resep-resep masakan sederhana yang pernah saya buat. Mau yang mana? Cap cay kangkung? Dadar kentang? Bakwan Slada? Ah...pokoknya, menyenangkan dech aktivitas memasak. Tak bikin kapok. Pasti, saya akan selalu menyempatkan diri untuk masuk ke dapur. Bukan lagi sebagai tukang icip-icip ini itu, tapi sebagai koki yang belajar menjadi hebat, meski untuk kalangan sendiri. Hehehe...

Whaduh, sekian lama tak berbagi di blog ini, betapa banyak yang ingin saya utarakan, tapi waktunya tak mendukung. Dah dulu, ya...kapan-kapan kita berbagi lagi. See you....

Senin, 01 September 2008

MARHABAN YA..... RAMADLAN

Marhaban Ya...Ramadlan...
Kami menyambutmu
Satu tahun sudah menantimu
Harap cemas dan malu
Tak bisa persembahkan yang terbaik
Yang termulia
Atas apa-apa yang kami miliki

Marhaban Ya...Ramadlan...
Ijinkan kami menyapamu
Dengan sujud dan ruku
I'tikaf, Tilawah, dan Tathawu
Dalam gembira batas mampu

Marhaban Ya...Ramadlan...
Marhaban Ya...Ramadlan...

Alhamdulillah, berjumpa lagi dengan Ramadlan. Malu juga, tak ada rencana-rencana spesial yang saya siapkan untuk mengisi Ramadlan tahun ini. Agak berbeda dengan tahun lalu, yang bahkan rencana-rencana itu telah terdaftar rapi.

Baiklah, mudah-mudahan belum terlambat untuk merencanakan amalan-amalan itu sekarang. Ramadlan adalah bulan agung, selayaknya saya menyambutnya penuh suka cita.

- Menyambung silaturrahmi dengan kawan-kawan, dengan berbagai cara
- Khatam tilawah Al-Qur`an
- Tarawih
- Memperbanyak infak dan shadaqah

Bismillaah...mudah-mudahan semua berjalan sebagaimana yang direncanakan.

Selamat! Untuk para pembaca yang telah memiliki kesiapan mental dan fisik menyambut dan mengisi Ramadlan tahun ini dengan amal kebajikan.

Selamat! Bagi yag telah punya rencana.

Selamat! Bagi yang telah punya niat menyusun rencana-rencana.

Belum ada niat mengisi Ramadlan dengan yang spesial? Whaduh, whaduh, cepetan dech...jangan tunggu Ramadlan berlalu, untuk selanjutnya menyesal tak berkesudahan.

Selamat menunaikan ibadah shaum Ramadlan 1429 H, kiranya Allah memudahkan kita mencapai derajat taqwa. Aamiin...

Sabtu, 26 Juli 2008

MENUNGGU ATAU MENJEMPUT?

Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat percakapan serius dengan teman lama. Dia telah menikah, dan baru dikaruniai seorang putra. Awalnya kami bicara ngalor-ngidul tanpa arah, hingga akhirnya masalah jodoh jadi bahan perbincangan.

Teman saya ini datang ke pengajian tersebut dengan seorang temannya, sebut saja Mbak Gati. Bagi Mbak Gati, jodoh adalah sesuatu yang sudah ada. Kita tinggal menunggu saja.

Pada pernyataan yang pertama, saya sepakat. Tapi pada pernyataan yang kedua, saya kurang sepakat. Bagi saya, jodoh adalah sesuatu yang harus kita upayakan.

-0-

Kawan....
Lepas dari harus dicari atau cukup ditunggu, saya ingin membicarakan tentang dua kata ini: MENUNGGU atau MENJEMPUT.

Hidup di dunia ini fana. Pasti akan ada akhir dari semuanya. Kematian adalah fakta tak terbantahkan mengenai akhir dari sebuah kehidupan.

Kematian pasti ada. Pasti telah disiapkan untuk kita. Sama juga dengan jodoh, jodoh pasti ada. Pasti telah disiapkan untuk kita. Apakah untuk menghadapi hal-hal tersebut, cukup hanya dengan menunggu waktunya datang pada kita saja?

Bagi saya, TIDAK. Kematian tidak cukup hanya ditunggu, tapi harus dijemput. Mungkin bahasa yang lebih halus adalah disiapkan.

Kawan....
Menunggu adalah aktivitas pasif yang sangat membosankan. Sebaliknya, menjemput lebih bermakna proaktif akan keberhasilan sesuatu. Dan itu sangat menyenangkan. Sebab itu berarti, kita mempersiapkan diri untuk menerima hasil akhir dari apa yang sedang kita lakoni.

Meski barangkali hakikatnya sama (sama-sama menuju hasil akhir), tapi menjemput tetaplah memiliki nilai lebih dibanding sekedar menunggu.


Kawan...
Dengan menjemput, kita terpacu melakukan banyak hal agar apa yang ingin kita capai, bisa kita capai dengan makna lebih. Tapi jika hanya menunggu, maka kita hanya akan menerima apa yang memang telah disiapkan untuk kita. Tak inginkah kita merancang apa yang ingin kita dapatkan??

Menunggu atau menjemput??? Pilihan ada di tangan kita sendiri. Salam

Kamis, 17 Juli 2008

PERTEMUAN ITU....

Hari ini saya diutus oleh Bapak Kepala Madrasah untuk mengantarkan data ke Kantor Departemen Agama Kabupaten Banyumas. Di pertigaan dekat Puskesmas Pekuncen, anak-anak kecil nan imut naik ke dalam mikrobis yang saya tumpangi juga. Dikawal oleh dua orang guru, mereka pulang ke rumah mereka masing-masing setelah hampir seharian menempuh 'pendidikan' Taman Kanak-kanak.

Sampai di pertigaan Karanganyar, anak-anak kecil itu turun. Di pertigaan itu, orang tua anak-anak kecil itu sudah menunggu. Dengan tatap mata bangga dan penuh kerinduan, para orang tua itu menyongsong putra-putrinya yang baru pulang.

Dari kejadian yang hampir selalu saya temui itu, saya tahu, ternyata, namanya pertemuan, apapun itu, tetap menjadi sesuatu yang dinantikan. Seorang ibu yang tak sampai 10 jam 'kehilangan' putra-putrinya (sebab putra-putri itu bersekolah), sangat menantikan kepulangan mereka. Selalu rindu. Selalu kangen. Apalah lagi yang sampai berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun tak bersua. Pastilah rasa rindu itu menggunung sangat tingginya. Menyesakkan dada, dan seringkali, meledak dalam tangis bahagia saat benar-benar berjumpa.

Aduhai, namanya pertemuan...
Seorang ibu pasti selalu mendamba bertemu dengan putra-putrinya. Seorang istri mendamba bertemu dengan suaminya, seorang anak juga selalu mendamba bertemua dengan orang tuanya.

Saya juga mendamba bertemu dengan saudara-saudara yang saya temui dalam dunia maya ini. Kapankah tiba saatnya, kita saling jumpa? Mungkin ada ide-ide sederhana, yang dapat kita realisasikan, agar tercipta perubahan yang lebih baik untuk kehidupan kita bersama.

Dan...

Sebagai makhluk Tuhan, dambakah kita berjumpa dengan Pencipta kita? Sudah mempersiapkan apakah untuk menyongsong perjumpaan dengan-Nya kelak?

Jauh, di lubuk hati kita yang terdalam, kita pasti merindukan bertemu dengan-Nya. Bertemu dalam keadaan baik, ridlo dan diridloi. Sudah siapkah??? Kita masing-masing yang bisa menjawabnya.

Rabu, 09 Juli 2008

SETENGAH TAHUN...

Wah, lama sekali ga posting tulisan di mimpisyurga, rasanya kangen banget. Kangen ingin berbagi dengan sidang pembaca semuanya.

Bagaimana kabarnya, sidang pembaca semua? Semoga baik-baik saja. Syukur Alhamdulillah.

Beberapa minggu berlalu sudah, kini kita memasuki bulan baru. Dengan semangat baru, dengan rencana baru, harapan baru. Apa yang sudah berlalu, semestinya menjadi pelajaran berharga untuk lebih baiknya waktu-waktu yang akan datang.

Subhanallah…
Setengah tahun sudah di tahun 2008 ini. Apa yang sudah saya dapatkan? Banyak. Banyak sekali yang sudah saya dapatkan. Hanya saja, tidak semua yang saya dapatkan itu, saya cermati dan saya resapi. Sehingga, terkadang, ada kesalahan-kesalahan yang mestinya diperbaiki, luput dari perhatian. Sehingga lain waktu, terpaksa harus terulang. Ada kejutan-kejutan kecil mestinya layak disyukuri, berlalu tanpa kesan. Masih untung, jika ingat dan kemudian bersyukur, meski (mungkin) sudah terlambat.

Setengah tahun sangatlah lama. Ah, apalah lagi setengah tahun. Bahkan sedetik yang telah berlalu pun, tak akan mungkin lagi bisa digenggam. So? Seharusnya, dengan kesadaran ini, saya menjadi orang yang sangat berhati-hati dengan waktu. Tapi kok ya… sulit sekali, yah?

Di akhir tahun 2007 yang lalu, saya sempat merumuskan rencana-rencana. Dan ternyata, sangat sulit mewujudkan rencana-rencana itu tanpa berani bekerja keras. Yang ada, waktu demi waktu berlalu sia-sia. Astaghfirullah…

Apa lagi, yah? Kok bingung sih, ngobrol sendirian seperti ini. J
Oh ya, saya mendapatkan sesuatu yang biasa, tapi menjadi luar biasa saat ditelaah dengan lebih cermat.

Apa itu? Alam. Ada apa dengan alam? Ternyata, alam terkembang, benar-benar, harus dijadikan sebagai guru. Teringat dengan salah satu kalimat dalam salah satu edisi majalah Annida, alam terkembang, jadikanlah ia guru, sayang.

Ya, alam benar-benar menjadi guru. Gemericik airnya, hembus lembut anginnya, terjal tebing-tebingnya, hamparan rerumputan, pohon-pohon, jalan-jalan….

Semuanya. Cobalah luangkan waktu barang satu dua menit untuk menyaksikan sekeliling kita, dan lihatlah, ternyata, mereka mengajarkan bagaimana caranya kita menjalani hidup ini dengan baik. Serasi dan penuh harmoni. Sungguh, indah sekali!

Inti dari tulisan ini: pandai-pandailah memanfaatkan waktu untuk berguru kepada alam

See you…
Wassalam

SAAT PENGLEPASAN ITU…

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 17 Juni 2008, sekolah tempatku bekerja, mendapat undangan penglepasan pengawas pendidikan agama Islam dari PPAI kecamatan Pekuncen. acara penglepasan itu ditempatkan di salah satu dari dua belas Madrasah Ibtidaiyah yang ada di kecamatan Pekuncen; tepatnya di MI Ma’arif NU 01 Banjaranyar. Dalam undangan, tertera waktunya pukul 08.30 WIB.

Kami pun berangkat. Sesampainya di sana, jarum jam menunjuk angka 08.45 WIB. Dan ternyata, acara belum dimulai.

Di satu sisi, kami senang, sebab itu berarti, kami belum terlambat. Tapi di sisi lain, kami; khususnya saya; menyayangkan hal ini. Telah bertahun-tahun, kebiasaan molor waktu itu berlangsung, dan entah harus dimulai darimana untuk memperbaikinya. Sebab hal ini telah menjadi semacam budaya, dan parahnya, telah melembaga. Maka bila hanya satu dua orang saja yang berpikir harus on time, apalagi yang ingin on time adalah kalangan bawah, besar kemungkinan, hal itu sulit diwujudkan.

Sekian banyak waktu terbuang percuma. Semestinya, banyak hal bisa dilakukan dalam rentang waktu yang sedemikian lama itu. Tapi kami tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu. Menunggu siapa? Menunggu apa? Menyakitkan sekali menjadi orang kecil dengan idealisme tinggi.

Menit demi menit berlalu begitu menjemukan. Kami kehabisan bahan lelucon. Akhirnya kami pasrah, disekap gelisah menunggu beliau hadir; sehingga acara ini bisa dimulai.

Jarum jam menunjuk angka 10.30. Orang yang dinanti pun tiba. Acara dimulai. Ah, betapa menyenangkannya menjadi seorang yang dipandang penting. Seolah, bebas akan hadir kapanpun, toh, acara hanya akan dilaksanakan bila yang berkepentingan rawuh. Whaduh, sepicik itukah? Tidak, tidak, pastilah tidak sepicik itu. Kalimat itu hanyalah sebuah protes kecil dari orang kecil, yang hanya memiliki ide-ide kecil, untuk terjadinya perubahan-perubahan yang meskipun kecil, tapi semoga berarti.

Bila saja kita bisa lebih bijak dalam memanfaatkan waktu demi waktu, saya yakin, akan sangat banyak karya berharga yang bisa kita hasilkan.

Setidaknya, bila terjadi kesalahan, masih cukup waktu untuk memperbaikinya. Saya rasa, demikian adanya. Memang membuat sebuah perubahan ke arah yang baik, membutuhkan perjuangan keras. Tidak bisa santai dan asal. Tapi harus serius dan direncanakan secara jelas. Dan yang jelas, saya merindukan budaya tepat waktu. Ada saran???

Senin, 07 Juli 2008

TANGGAL 1 JULI 2008

Semalam (Senin, 30 Juni 2008; pukul 21.00), ada yang meninggal di RW tempatku tinggal. Seorang kakek, berusia sekitar 76 tahun. Sudah cukup sepuh, dan mungkin sudah sepatutnya meninggal. Yang pasti, janji yang telah ditandatangani saat di alam kandungan dahulu, telah sampai pada ketentuannya. Ketentuan waktu, tempat, dan proses kematian yang harus dilakoni.


Saya mengenal sang kakek, tapi tidak terlalu dekat. Berinteraksi pun, hampir-hampir tidak pernah. Hanya sesekali saya lihat sosoknya yang tinggi jangkung, bila saya akan bepergian. Kebetulan rumah kami berjauhan. Rumah saya di ujung utara RW kami, sedangkan rumah beliau di ujung selatan. Terpisah oleh rel kereta api yang melintang arah timur-barat.


Maka tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor, saya berta’ziyah. Pengennya bisa ikut menshalatkan, tapi apalah daya; keadaan tidak memungkinkan. Jadilah hanya bisa mendoakan semampu saya.


Lalu cerita pun bergulir. Sang kakek yang sangat gemar meminta maaf pada sesama, bahkan menjelang sakaratul maut pun, masih bisa meminta maaf dengan yang lain. Konon ceritanya, setiap kali ada orang menengok beliau, tak lupa, beliau akan meminta maaf. Sampai di sini saya berpikir, alangkah bersih interaksinya dengan yang lain. Bagaimana dengan saya?


Kemudian cerita tentang sakitnya. Sang kakek; awalnya menderita sakit maag. Maag yang diderita sang kakek, adalah maag yang bisa dikatakan sudah sangat kronis. Bahkan; menurut sumber berita yang saya terima; sakitnya ini telah merobek lambungnya. Lambungnya pecah. Akibatnya, darah mengalir terus menerus dari bagian tubuh bagian bawah. Sampai sang kakek harus menjalani transfusi darah, tapi ternyata tak cukup membantu. Darah yang keluar, tetap tak terganti oleh darah yang masuk. Tentunya bisa dibayangkan; bagaimana kotornya sang kakek saat di rumah sakit? Badan dan pakaian belepotan darah, belum lagi bila hajat untuk buang air itu datang. Astaghfirullah, na’uudzubillah. Sakit kok ya aneh-aneh saja, sekarang ini, yah???


Dan Allah Maha Sayang. Barangkali itu maksudnya; ketika akhirnya; penderitaan sakit yang sedemikian rupa; dicukupkan sampai tadi malam.


Bukan hak saya untuk mengulas keseharian sang kakek, hingga harus diuji dengan sakit yang sedemikian itu. Yang menjadi maksud saya menuliskan ini adalah, telah seberapa banyak dan berkualitaskah, bekal yang telah kita kumpulkan untuk menjumpai Allah saat waktunya tiba nanti?


Kematian yang menjemput sang kakek (semoga Allah mengampuni beliau, aamiin) hanyalah satu contoh model kematian yang mungkin akan menimpa kita. Masih sangat banyak kasus kematian yang lain. Tapi semuanya, memberikan pelajaran berharga bagi kita yang masih hidup.


Kematian adalah misteri. Kedatangannya tak ada yang bisa menduga. Kapan, dimana, dan dengan cara bagaimana. Boleh saja terjadi, sedetik setelah bercengkrama dengan pasangan kita; ajal menjemput. Bisa juga, setelah bertahun-tahun mengidap sakit, barulah maut menyapa. Atau mungkin, pergi begitu saja tanpa pesan saat dibuai mimpi.


Karena misterinya yang sedemikian itu, maka menjadi suatu keharusan, untuk kita rajin-rajin mengumpulkan bekal menghadap Yang Kuasa. Membiasakan diri berbuat baik selama hidup, agar mudah-mudahan, dimudahkan saat ajal menjemput. Karena kebaikan bukan hanya untuk diketahui, tapi untuk dilaksanakan dan dibiasakan.


Sudahkah kita membekali keranjang kehidupan kita dengan persembahan terbaik untuk Yang Maha Kuasa?

TANGGAL 30 JUNI 2008

Maasyaa Allaah…

Betapa nikmatnya saat sehat itu. Makan apapun jelas rasanya. Istirahat bisa dirasakan kenyamanannya. Membaui apapun, jelas nama baunya. Dan kenikmatan-kenikmatan seperti itu, sangat terasa sekali saat tidak bisa dirasakan.


Akhir-akhir ini, kesibukan memojokkan saya pada sudut gelap bernama stress. Berangkat ke kantor, harus lebih awal dari teman-teman kerja yang lain. Pulangnya, harus ikhlas menjadi juru kunci. Hal itu berlangsung terus-menerus selama kurang lebih dua minggu. Dan barangkali, apa yang saya rasakan saat ini, adalah salah satu sikap paling puncak dari protes fisik saya karena dipaksa bekerja sedemikian keras. Jangan tanyakan honor lembur, karena tempat kerja saya bukanlah tempat kerja yang menjanjikan itu semua. Semuanya berlalu begitu saja, dan saya sangat menerima ini, karena saya tahu persis kondisi keuangan di tempat saya bekerja. Saya bukan bendahara, hanya secara kebetulan, sering dicurhati tentang masalah kondisi keuangan oleh bendaharanya.


Begitulah. Dan puncaknya adalah minggu ini. Makan pepaya yang sudah matang; sungguh segar dan ranum jingganya; rasanya entah seperti makan apa. Hambar. Tidur harus bersedia tidak nyenyak. Sesekali, kesulitan mendapatkan udara segar, menjadi alarm alami kesadaran saya untuk segera bangun. Kerja apapun, rasanya tak nyaman. Bersin berkali-kali, hidung meler, dan kepala pening. Aduh, aduh, aduh, sungguh sangat nikmat sekali melakukan semuanya saat badan fit dan sehat.


Tapi roda kehidupan harus bergulir, dan setiap orang pasti mendapatkan giliran untuk diuji. Ada kalanya, kesehatan dikurangi, agar saat sehat kembali nanti, bisa lebih bersyukur dengan kesehatan itu. Ada kalanya materi diseretkan (baca seperti membaca peti), agar saat materi melimpah lagi nanti, lebih tahu, bagaimana cara mensyukuri keberadaan si materi itu. Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.


Maka, akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi saya saat ditimpa sakit ini, selain menikmatinya. Menikmati dengan sepenuh hati, dan wajib bersyukur, karena masih diberi kesempatan hidup. Diberi kesempatan membuat rencana-rencana, apa yang mestinya dilakukan saat benar-benar sehat kembali nanti.


Mudah-mudahan sakit ini hanya sebagai ujian. Sebagai alat untuk merontokkan dosa-dosa, meningkatkan derajat, mendapatkan pahala, dan diampuni dosa-dosa saya. Aamiin.

Senin, 16 Juni 2008

MENITI PEMATANG

Pernahkah kau berjalan di atas pematang yang baru selesai dibuat? Saat pagi buta, setelah semalam pematang yang baru dibuat itu, diguyur hujan? Pematang itu membatasi dua area sawah. Yang satu terbentang di tempat yang sejajar dengan pematang itu, dan yang satu lagi, terbentang lebih rendah dari sang pematang?

Saya pernah. Telah beberapa hari, hal itu saya lakukan, tapi baru pagi ini saya terbersit untuk mengambil hikmah dari ‘perjalanan’ ini.

Bahwasnya, seperti kita berjalan di atas pematang itu, seperti itulah layaknya kita menjalani kehidupan. Berjalan di atas pematang sawah saja, saya yakin, tidak setiap orang bisa melakukannya dengan baik. Sering, terjadi ‘kecelakaan-kecelakaan’ ringan. Tercebur lumpur, misalnya. Atau tersandung rerumputan. Atau terperosok. Belum lagi jika pematang itu baru selesai dikerjakan beberapa hari sebelumnya, dan diguyur hujan semalam suntuk. Basah, licin, dingin. Dan yang jelas, berjalan di atas pematang dengan kondisi seperti ini, perlu kehati-hatian ekstra.

Dan inilah yang saya katakan sebagai hikmah. Semestinya, seperti itulah juga kita menjalani kehidupan ini. Karena banyak aral menghadang, banyak halangan harus ditaklukkan, banyak rintangan harus dilewati. Dan itu harus kita jalani. Mestinya dengan kehati-hatian penuh. Hati-hati berarti cermat, penuh waspada (kamus pribadi, hehehe…) kehati-hatian akan membawa kepada keselamatan. Sebaliknya, bertindak ceroboh dan tergesa-gesa, hanya akan berdampak tidak baik.

Bagaimana jika kita berlari di atas pematang sawah dengan kondisi yang saya gambarkan di atas? Gelap, licin, dan resiko tergelincir ke sawah yang beberapa meter lebih rendah dari pematang yang kita sedang kita injak.

Saya yakin, akan sangat kecil kemungkinan kita bisa mencapai ujung pematang dengan baik. Maka sekali lagi, bila kita ingin sampai di ujung pematang (di ujung garis kehidupan!) dengan selamat, salah satu kuncinya, ‘berhati-hatilah’!. Ya, hati-hati dalam menjalani hidup. Hati-hati dalam berpikir, bertindak, dan bertutur kata. Sungguh, itu sangat sulit, tapi yakinlah, akan ada jalan terbentang bila kita bersedia mencarinya dengan sungguh-sungguh.

Berhati-hati dalam hidup? Haaaaruuuus…ituuuu….

DIAJARI BERSABAR OLEH....

Pagi. Kantor masih sepi. Anak-anak belum berangkat. Rekan kerja yang lain juga belum berangkat. Saya menyengajakan diri berangkat lebih awal, karena ada sesuatu yang harus dikerjakan: ngeprint head surat pada amplop.

Kebetulan, saat ini, saya dipercaya untuk menjadi sekretaris sebuah kegiatan cukup bergengsi:

GELAR WISUDA SANTRI LULUS IQRA ANGKATAN I

Bagaimanapun, apa-apa yang namanya pertama, apa-apa yang namanya baru mulai, permulaan, dan yang sejenis dengan itu, merupakan sesuatu yang layak disambut dengan sambutan yang istimewa. Acaranya akan dilaksanakan hari Ahad, tanggal 29 Juni 2008 nanti.

Surat-surat sudah dibuat. Segala yang berkaitan dengan administrasi persuratan, Insya Allah sudah beres. Tapi rasanya akan terlalu sederhana, bila surat-surat itu dimasukkan dalam amplop polos begitu saja. Jadilah, amplopnya juga diberi head sebagaimana surat-surat yang akan dikirimkan.

Berhubung agak siangnya, saya ada acara lain (tidak stand by di kantor), maka saya menyengajakan diri berangkat lebih awal.

Komputer adalah sistem hitam putih. Bila bukan ‘iya’, maka sudah pasti ‘tidak’. Komputer tidak mengenal kata ‘toleransi’. Maka bila perintah yang kita masukkan sudah benar, komputer juga akan memprosesnya dengan benar.

Itulah yang terjadi dengan saya pagi ini. Saya pikir, perintah yang saya berikan sudah sangat benar sekali. Tapi saya bukan programmer, saya hanya sekedar operator. Itu pun hanya sebatas sekedarnya. Maka bila timbul permasalahan seperti ini, saya hanya bisa bersabar. Dan sekali lagi, sungguh itu sangat sulit.

Prosedur saya lakukan seperi biasa. File saya buka, kemudian saya masuk ke perintah print. Biasanya tak ada masalah. Akan mencetak berapa ratus lembar pun, it’s ok. Tapi pagi ini, tidak seperti biasanya.

Printer memberikan respon positif dengan perintah-perintah yang saya berikan. Tapi tidak untuk amplop yang sudah saya siapkan di badan printer itu. Ngadat. Entah kenapa. Saya coba untuk mencetak kertas biasa, ternyata berhasil. Saya coba mencetak untuk amplop lagi, ternyata gagal lagi.

Ada sekitar dua puluh amplop yang akan saya”kerjai”, tapi baru bisa menghasilkan empat lembar amplop. Ada sekitar 5 amplop yang akhirnya masuk ke tong sampah. Satu amplop memang sengaja diperlakukan sebagai percobaan, dan yang lain, ketika diprint, menghasilkan lukisan abstrak berwarna hitam kelam di bagian belakang amplop tersebut.

Saya diuji. Jelas, itu kesimpulan yang bisa saya angkat dari peristiwa ini. Dan bersabar pada pukulan yang paling pertama, adalah sebuah kesulitan tersendiri. Barangkali saya terlalu sombong, menganggap memberikan head pada amplop surat dengan komputer, itu adalah sesuatu yang sangat luar biasa mudah. Ternyata ada banyak hal yang saya tidak tahu. Dan saya harus mengakui itu.

Maka hikmahnya, pagi ini, saya diajari oleh sebuah benda mati bernama printer, untuk bersabar. Untuk rendah hati, untuk senantiasa yakin, bahwa ada kekuatan yang Maha Dahsyat, yang saya tidak tahu, berperan dalam seluruh proses ini.

Akhirnya, saya hentikan proses pencetakan itu. Mungkin printernya butuh istirahat sejenak, agar bisa memproses perintah yang saya berikan dengan lebih baik. J

I think that is all.

OLEH-OLEH DARI BANJARNEGARA (II)

Baiklah, mari kita lanjutkan catatan saya beberapa waktu yang lalu tentang kegiatan Bedah Buku di Banjarnegara itu.

Ehm! ….and The Star is Me

Mbak Afra dan Kang Nass yang membedah buku tersebut, begitu antusias dalam menguraikan intisari pokok isinya.

Sebuah hikmah saya petik: Bila Anda; seorang yang biasa diminta menjadi pembicara; menginginkan audience Anda mengikuti pembicaraan Anda dengan antusias, mulailah dari diri Anda sendiri.

Mbak Afra dan Kang Nass tampil penuh semangat, sebuah kesemangatan yang mampu membuat saya (entah yang lain) betah duduk di kursi panas itu hingga hampir 2 jam lamanya, tanpa merasa bosan.

Mungkin karena jauh-jauh dari Purwokerto, saya menyengajakan diri untuk mengikuti acara ini, maka sungguh sangat saya nikmati ‘suguhan’ mereka. Saya tak ingin, pulang ke Purwokerto dengan tangan hampa.

Kang Nass menyatakan; setiap insan memiliki potensi bintang. Mbak Afra menyampaikan; setiap kita adalah bintang.

Kita semua telah tahu; bagaimanakah karakteristik bintang itu? Bintang (misalnya matahari) senantiasa ‘hidup’, karena memiliki ‘sumber kehidupan’ sendiri. Bintang berpijar dan bersinar, menjadi sumber panas dan cahaya, menjadi sesuatu yang diikuti, menjadi pelopor dan bukan pengikut, dan lebih besar kemungkinannya memberikan manfaat bagi yang lain.

Cobalah bayangkan, bila tidak ada matahari dalam sistem tata surya kita? Akankah ada bulan yang bersinar, akankah ada siang dan malam, akankah ada siklus hidrology (daur ulang air)? Terlepas dari semua bisa terjadi bila Allah menghendaki, tapi saat ini, kita berbicara dalam pemahaman sebab-akibat yang sudah lazim kita saksikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Maka, demikianlah seharusnya kita. Jadilah bintang, minimal bagi diri kita sendiri. Iman akan menjadi ‘sumber kehidupan’ yang akan senantiasa membuat kita ‘hidup’. Iman dan ilmu akan menjadikan kita berpijar dan bersinar, menghangatkan jiwa-jiwa beku untuk bangun, menyinari hati-hati yang gelap untuk segera bertaubat, dan sempurnakanlah memberi manfaat pada yang lain dalam amal shalih yang dilandasi ikhlas semata karena Allah.

Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah caranya menjadi bintang itu?
Kang Nass dan Mbak Afra menguraikan banyak sekali hal, tetapi biarlah saya rangkum dalam beberapa poin, sejauh kemampuan saya menangkap uraian beliau berdua kemarin.

- Berkarakter bintang. Tumbuhkanlah karakter bintang dalam hidup Anda. Milikilah sumber ‘hidup’ (sumber daya, sumber potensi) yang selalu hidup (melimpah, tak pernah habis), berani menjadi trendsetter (yang memulai), dan berani berbeda dari yang lain (lihatlah bintang, ia terlihat karena memiliki karakteristik yang khas, yang berbeda dari benda-benda yang lainnya)
- Jangan ragu untuk terus menggali potensi diri
- Jangan malas untuk terus memperbaiki kualitas diri.
- Memiliki self motivation (motivasi dari dalam diri sendiri) yang kuat.

Ya…gitu dech kira-kira. Intinya tuh…

KITA SEMUA ADALAH BINTANG!

Lalu, mengapa kita harus membiarkan virus minder, pesimis, putus asa, dan seabreg pikiran negatif lainnya menggerogoti ke-bintang-an kita?

Baiklah, kita juga sepakat, bahwa setiap orang pasti memiliki permasalahan; yang boleh jadi itu akan kita tuding sebagai salah satu penyebab mengaburnya kecemerlangan kita. Bila demikian adanya, apa yang harus kita lakukan?

Sebuah bintang sejati, tak akan membiarkan masalah itu berlarut-larut. Segera cari tahu akar permasalahannya, lalu selesaikan dengan tepat. (Wah, kalau berteori memang mudah, yah, prakteknya itu yang sulit.). Yakinlah, bahwa semua orang juga pasti menemui yang namanya masalah. Hanya tinggal bagaimana cara mengatasinya. Optimis, optimis, dan berpikir positif selalu, saya rasa itu juga salah satu cara agar pikiran kita lebih jembar dan lebih mudah dalam menghadapi permasalahan yang timbul. Lha, kok, jadi nglantur…???

Kang Nass mengangguk sangat setuju saat kemarin Mbak Afra menyatakan hal ini:

BADAI pasti akan selalu ada, tapi hanya BINTANGlah yang dapat terus BERSINAR dan akhirnya menjadi yang TERBAIK!

Wah,wah, subhanallah! Bagus banget, kan?

Finally, thanks banget buat My Dream Learning Centre Banjarnegara yang telah menyelenggarakan acara ini.

Buat Kang Nass dan Mbak Afra juga, saya menyampaikan terima kasih. Dan mohon maaf…bila ‘kutipan-kutipan’ di sini, kurang sesuai dengan maksud hati Kang Nass dan Mbak Afra.

Maka biarlah saya terus belajar, menjadi bintang, berpijar, bersinar,
bermakna bagi diri dan lingkungan


(the end)

NB: bagi pembaca yang ingin kenal lebih dekat dengan Mbak Afra, bisa klik di www.afifahafranews.blogspot.com

Jumat, 13 Juni 2008

OLEH-OLEH DARI BANJARNEGARA

Sidang pembaca semuanya, apa kabar? Rasanya lama sekali saya tidak berkirim cerita di sini. Sepertinya mimpisyurga pun juga telah merasa sedemikian kangen dibuatnya. Hehehe…agak GR sedikit, tak apa lah. Toh hanya sedikit, tak banyak-banyak amat. Amat juga ga banyak, kok, hanya sedikit. Walah, ngaco!

Hari Ahad, 8 Juni 2008 yang lalu, saya diijinkan oleh Alloh, menjejakkan kaki di Banjarnegara, tepatnya di Masjid Al-Munawwaroh Banjarnegara; dekat dari SMA Negeri I Banjarnegara. Jujur, saya sangat menikmati perjalanan dan kegiatan di sana, meski harus nyasar nyungsep dulu beberapa kali. Tak apalah. Semuanya terbeli dengan begitu banyaknya oleh-oleh yang bisa saya bawa pulang.

Dan malamnya, saya menuliskan perjalanan saya tersebut dalam buku. Ternyata, begitu banyak yang ingin saya sampaikan, sampai-sampai harus dilanjutkan menuliskan kesan saya itu, esok malamnya.

Tak sabar ingin segera tahu? Inilah catatan saya itu. Selamat membaca!

I
Subhanalloh! Dahsyat!
Ada apa? Ada apa?
Sesuatu telah terjadi hari ini. Ini bukan episiklus seperti yang Andrea Hirata katakan dalam Sang Pemimpi, tapi yang jelas, hari ini saya merasa ada sebuah scenario yang sangat cantik nan indah, yang telah Sang Maha Sutradara susun sedemikian rupa, dan saya diijinkan menjadi salah satu aktrisnya.

Maka tak ada yang tersia dalam setiap lakon kehidupan yang telah digariskan-Nya. Ada jejaring kehidupan yang sangat kompleks yang sedang saya jalani. Benar-benar ini bukan mimpi!

Adalah terlalu jauh menarik peristiwa saat itu hingga hari ini, tapi saya tidak bisa mencegah gejolak hati ini untuk menuturkannya.

Hampir tiga tahun yang lalu, saya; bersama dengan dua orang teman yang lain; berniat beranjangsana ke Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah Banjarnegara. Yah, sekedar untuk bersilaturrahmi. Kalau tak salah, kebetulan saat itu ada kegiatan Pelatihan Kader Taruna Melati, dan teman-teman IRM dari Banyumas, diminta untuk turut ambil bagian dalam kegiatan tersebut.

Saat itu, kami bertiga baru saja pulang dari Cilacap. Kami telah merencanakan, sepulangnya dari Cilacap, kami akan melanjutkan perjalanan ke Banjarnegara. Tapi apalah daya, ternyata, sesampainya di Terminal Bus Purwokerto, isi dompet yang kami miliki, tak cukup untuk mengantar kami hingga ke Banjarnegara. Akhirnya, saya melanjutkan pulang ke rumah, dan dua teman saya melanjutkan perjalanan ke Banjarnegara. Sungguh, dalam hati tetap terpatri niat, suatu hari nanti, saya ingin menjejakkan kaki kesana. Saya benar-benar ingin tahu, seperti apakah Banjarnegara itu?
Dan hari ini, Allah benar-benar mengabulkan niat saya tersebut.

Tapi sebentar.
Saya juga ingin bercerita tentang sesuatu yang lain.

Dalam salah satu kisah hidup saya, tersebutlah sebuah peristiwa unik. Tentu saja ini dalam penilaian saya. Saat itu, saya mengisikan pulsa sebesar dua puluh ribu rupiah untuk nomor saya. Setelah pulsa dinyatakan masuk, saya coba mengeceknya lewat bintang delapan delapan delapan pagar yes, ternyata saldo pulsa saya bertambah empat puluh ribu rupiah. Senang sih senang, tapi saya waswas kalau ada kesalahan pengisian. Sebab itu berarti, saya harus membayar double. Maka saya konfirmasikan hal itu pada mbak lina; pemilik counter. Ternyata pulsa yang dikirimkan, benar-benar sebesar dua puluh ribu rupiah. Ya sudah, untuk sementara, saya bisa berbahagia karena ada pulsa nyasar ini.

Siangnya, ada nomor asing masuk. Yang membuat saya kaget, nomor itu hampir sama persis dengan nomor saya. Dari dua belas digit nomor tersebut, hanya berbeda satu digit. Bagi saya, ini sangat luar biasa. Nomor tersebut menginformasikan bahwa counter tempatnya mengisi pulsa, telah melakukan kesalahan pengiriman; yang berakibat pulsa yang dia beli, nyasar ke nomor saya. Olala…tak jadi bersedang-senang, dech. Pamilik nomor itu (kita sebut mas Rifki) meminta saya mengembalikan pulsanya. Saya menyanggupi untuk mengembalikan pulsa nyasar itu, tapi tidak saat itu juga. Saya minta mas rifki sabar menunggu sampai saya ada rizki. Beliau mengijinkan. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa mengembalikan pulsa itu di kemudian hari, dan hingga hari ini, beliau masih berkenan menasbihkan diri sebagai kakak bagi saya. Kakak lain ayah lain ibu, nun jauh di Lampung Selatan sana.

Bila saat itu saya abaikan permintaannya, mungkin cerita yang terjalin kemudian tidaklah seindah hari ini. Sungguh, hari ini saya merasakan, betapa indahnya scenario yang telah Allah rancang dan canangkan.

Barangkali, pada saat bersamaan, Allah juga sedang menjalinkan cerita yang lain, yang pada akhirnya, ada titik temu yang membuat saya benar-benar berdecak kagum. Subhanallah! Amat sangat rapi sekali jalinan peristiwa itu.

Entah bagaimana ceritanya. Yang jelas, suatu hari, mas Rifki mengabarkan pada saya, bahwa ada nomor asing masuk ke hapenya beliau. Pemilik nomor itu mengenalkan diri sebagai eva, dan kata mas rifki, eva ini mengenalkan diri sebagai temannya eko. Eko, katanya kenal sama saya. Sesaat setelah saya dikabari hal itu, saya langsung teringat dengan eva (adik kelas saya waktu SMA), dan eko (teman satu kelas saat saya kuliah). Saya coba cari tahu nomornya eva dan eko. Tentu saja, saya bermaksud untuk mencocokkan nomor mereka dengan nomor yang masuk ke hapenya mas rifki. Sayang sekali, nomor eva telah dihapus.

Suatu hari, saya bertemu dengan istrinya eko. Istrinya eko ini (namanya canthiek) adalah teman saya di Ikatan Remaja Muhammadiyah. Sekian lama kami tak berjumpa, dan saat berjumpa itu, saya terkejut karena didakwa sebagai seorang sahabat yang sombong kepada sahabatnya. Canthiek mengatakan bahwa sekian banyak smsnya tak dibalas, bahkan saya terkesan begitu angkuh, cuek, dan sombong dalam sms-sms yang saya tujukan untuk chantiek.

Lho, lho, lho….sebentar! sebentar!
Tentu saja saya menolak ‘tuduhan’ itu. Saya tandaskan, bahwa saya tak pernah mendapat sms apapun dari chantiek ini. Kemudian chantiek menunjukkan sebuah nomor kepada saya, yang diberi nama dengan nama saya.

Subhanallah!

~ ini bukan nomor saya, chantiek. Ini nomornya mas rifki ~

Saya ceritakan secara singkat awal mulanya nomor itu masuk ke hape saya, dan sejurus kemudian, salah satu angka dalam nomor itu dibetulkan.

Lihatlah, kawan…
Mengapa harus ada pulsa nyasar dulu ke hape saya? Sungguh ada kekuatan lain yang sanggup menjalankan scenario itu dengan sempurna, dan tentu saja, itu bukan suatu kebetulan semata. Pastilah ada hikmah yang sangat besar dibalik seluruh cerita-cerita ‘kebetulan’ ini.

Mari kita lanjutkan.
Sepulangnya dari bertemu dengan chantiek, selang beberapa waktu, ada nomor asing masuk ke hape saya. Awalnya Missedcall, kemudian sms. Selidik punya selidik, cerita punya cerita, akhirnya terkuaklah, bahwa pemilik nomor itu adalah eva, yang dulu pernah berkirim sms ke nomornya mas rifki. Belakangan saya tahu, ternyata yang benar itu bukan eva, tetapi ave. Oooh……….

Dan akhirnya, dari ave (saya memanggilnya mas ave) inilah, akhirnya saya bisa belajar banyak hal. Mendapatkan banyak hal, mendapatkan nomor-nomor penting, mendapatkan manfaat yang begitu banyak untuk mengasah hobi saya: menulis. (Thanks banget, mas ave: kakak yang sangat berkenan mengerti kerewelan dan keusilan saya!)

Salah satu nomor yang dikenalkan pada saya adalah nomornya kang nasspur. Sangat surprise sekali rasanya, karena ternyata saya dikenalkan dengan pendiri FLP Purwokerto. Subhanallah! Saya bukan pengurus FLP, saya hanya salah satu simpatisan, yang mudah-mudahan tetap diperkenankan mengasah pena saya di kawah candradimuka bernama Forum Lingkar Pena.

Dari kang nass inilah, saya mendapat kabar, akan ada kegiatan di Banjarnegara. Tepatnya kegiatan apa, saya juga tidak tahu, dan juga tidak mencari tahu. Hanya dalam benak saya terpikir, rasanya mustahil jika itu sebuah kegiatan yang buruk, mengingat pengusung kegiatan itu, setahu saya, adalah Forum Lingkar Pena Banjarnegara.

Akhirnya saya bulatkan tekad untuk mengikuti kegiatan tersebut. Dari beberapa teman yang saya kirii kabar, alhamdulillah, akhirnya hanya saya dan kang dody (salah satu pengurus FLP Purwokerto) yang berangkat. Saya pikir, pesertanya berasal dari seluruh wilayah Barlingmascakeb. Tapi ternyata, sesampainya di sana, teman peserta di sebelah kanan dan kiri saya, semuanya berasal dari Banjarnegara. Wew, jadi tamu kehormatan nih, ceritanya???

Sesampainya di lokasi kegiatan (setelah nyasar satu kali dan dilimpah ke mikro lain satu kali), saya baru tahu, ternyata acaranya adalah berupa Bedah Buku. Buku yang dibedah berjudul, the star is me. Penulisnya Mbak Afifah Afra. Pembedahnya, kang nasspur dan mbak afra. Subhanallah!

Saya mencari-cari kata Forum Lingkar Pena, ternyata tak saya temui. Berarti bukan FLP penyelenggaranya. Tapi, my dream learning centre. Wadah apakah itu? Saya sendiri tak sempat menanyakan lebih jauh. Begitu sampai, registrasi, masuk ruangan, tak lama kemudian, acara secara resmi dimulai.

Panitia kegiatan ini masih imut-imut, tapi sangat luar biasa sekali dalam hal semangat dan kemampuan mengorganisasi acara; hingga acara tersebut bisa tampil sedemikian manis dan jauh dari rasa membosankan.

Seperti mimpi saja layaknya, akhirnya saya bisa menjejakkan kaki di Banjarnegara, untuk mengikuti sebuah acara yang sangat bagus. Menggugah kesadaran saya pada lubuk hati yang paling dalam, bahwa semua orang benar-benar berpotensi (mengingat selama ini saya lebih sering tersrang virus minder), dan dengan modal potensi dari Sang Pencipta itulah, manusia berhak mewujudkan apapun yang dimimpikannya.

Bahwa; seperti yang mbak afra katakana; setiap orang berhak menjadi bintang, karena untuk menjadi bintanglah, manusia diciptakan.
-0-

Cerita ini belum berakhir. Kapan-kapan, kita sambung lagi, Insya Allah. OK, Sampai besok-besok lagi....

Senin, 26 Mei 2008

PERSAHABATAN DAN CINTA

Siang ini panas sekali. Saya mampir ke warnet. Ada perlu ke sebuah tempat, jadi saya sempatin mampir ke sini. Untunglah, saya membawa buku catatan yang telah terisi coretan beberapa waktu yang lalu. Alhamdulillah, akhirnya bisa posting tulisan, meski sederhana, dan mungkin, bagi sebagian sidang pembaca, dinilai tak mutu sama sekali. Tak masalah. Kata temenku, sekarang yang penting tulis dulu, jangan berpikir bagus atau tidak, bermutu atau tak laku. Tulis dan tulis dulu, maka mutu akan mengikuti dengan sendirinya, Insya ALLOH.

So, selamat membaca!

Untuk seseorang yang jauh di seberang lautan sana....

Sahabatku, mungkin kamu benar, sewaktu menyatakan bahwa: "Persahabatan seringkali berakhir dengan percintaan, tapi tidak berlaku sebaliknya"

Mungkin, kini saya merasakannya. Susah payah saya menjaga rasa ini, agar persahabatan yang terjalin, tak perlu berkembang dalam wujud lain. Tapi ternyata itu tak mudah.

Lalu, saat cinta itu tak berbunga, susah payah saya menjaga ikatannya, agar tak perlu ada luka demi luka yang merongrong sebuah keadilan dalam berinteraksi dengan sesama. Dan lagi-lagi, saya letih menegakkan teori ini, karena memang hal itu lebih sulit dari yang pertama tadi.

Manusia biasa hanya tahu, tak perlu sama sekali ada cerita setelah sebuah kisah cinta itu usai. Tapi apakah benar-benar harus begitu? Tak bolehkah tetap ada cerita, dalam bingkai cerita persahabatan yang lebih tulus? Entahlah.

Barangkali juga, apa yang disarankan oleh salah seorang sahabatku yang jauh di sana, ada benarnya juga: sudahlah, sekarang, jalani saja rel kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, semaksimal yang kita bisa. Akhir dari seluruh cerita hidup ini, sungguh merupakan misteri, dan sebuah kejutan menanti kita di suatu bentangan masa yang pasti akan menghampiri.

Sungguh, betapa tipisnya batas antara persahabatan dan percintaan. Berperan sebagai sahabat dan kekasih, ibarat berjalan di tanah perbatasan.

Entahlah. Saya tak tahu.

Minggu, 25 Mei 2008

KATAKANLAH, AGAR SAYA TAHU……..

Betapa banyak kejadian saya alami setiap hari. Kejadian-kejadian; yang sebenarnya pasti sangat remeh dan sepele dalam pandangan manusia; tapi sungguh menyiratkan begitu banyak pelajaran. Seperti gemericik air yang mengajarkan kesejukan, seperti semilir angin yang mengajarkan kedamaian, seperti debur ombak yang mengajarkan optimisme, seperti tegak karang yang mengajarkan ketegaran, seperti…., seperti…., seperti….

Maka berbahagialah, bagi orang yang mampu mengambil pelajaran dari itu semua. Bukankah saat semakin banyak pelajaran dapat diambil, bukankah akan semakin mudah dalam mengarungi dan meniti kehidupan?
Orang yang terampil mengerjakan soal-soal matematika, tentu saja sebab dia telah paham betul dengan ilmunya. Seperti, seperti, dan seperti yang serupa dengan itu.

Maka hari ini (Rabu, 21 Mei 2008), saya diajari sebuah hal penting dalam interaksi saya di kantor.

Telah menjadi hal yang lumrah, bahwasanya, setiap interaksi, pastilah akan melibatkan aksi-reaksi, bahkan tak jarang konflik. Hal yang terakhir inilah mungkin yang saya alami hari ini.

Awalnya sederhana: tak ada komunikasi untuk melakukan suatu pekerjaan. Jadilah, ada yang pro untuk dilakukannya pekerjaan itu (nyuci piring), ada pula yang kontra.

Akhirnya piring bisa dicuci, tapi dengan sekian banyak embel-embel komentar. Darah saya mendidih! Waktu itu jam 12 siang, saat terik matahari tepat di atas kepala, dalam keadaan tubuh telah lelah setelah usai menunaikan tugas di kantor.

Saya paling tidak bisa menerima, ketika saya bekerja, ada begitu banyak komentar yang dilontarkan. Lha wong ini kemauan saya untuk nyuci piring, kok, kalau mau bantu ya ayo, dibantu, kalau tidak akan membantu, ya sudah, diam saja lah. Begitulah egoisme saya berbicara.

Cas-cis-cus tak karuan berdesingan di telinga saya, dan akhirnya saya memutuskan untuk menghentikan pekerjaan ini. Kesalahan saya adalah: saya tak mengkomunikasikan mengapa saya berhenti nyuci piring. Sehingga, setelah selesai pekerjaan itu, sekian banyak tanda tanya dan suudzan menghampiri hati dan kepala-kepala kami.

Dari kasus ini kemudian saya berkesimpulan: ooo, ternyata, hal sederhana bagaimanapun, bisa menjadi pemicu sebuah konflik. Agar tak terjadi hal yang demikian; yah, minimal bisa dikurangi lah, konfliknya; saya harus tidak segan untuk mengkomunikasikan semuanya. Bila marah, katakanlah bahwa kita sedang marah. Bila puas, katakanlah puas. Bila tak setuju, katakanlah tidak setuju. Bila setuju, ungkapkanlah persetujuan itu.

Saya yakin, bila saja itu semua bisa dibicarakan secara arif bijaksana, dengan cara yang baik dan tepat, insya ALLOH, konflik bisa sedikit diredam. Karena semua kembali ke sehat-tidaknya interaksi kita dengan sesama.

Begitulah hidup. Menawarkan berbagai mata pelajaran untuk dikaji dan diamalkan. Semoga kita bisa mengambil sebanyak-banyaknya pelajaran dari digelarnya drama kehidupan di alam raya ini. Aamiin

I think, that’s all. Salam.

Rabu, 14 Mei 2008

PURNAMA ABADI

Beberapa hari yang lalu, nomor saya dihubungi oleh nomor tak dikenal. Mungkin nomor itu pernah masuk di phonebook hape saya, tapi terus hilang bersamaan dengan insiden hilangnya kartu simpati saya waktu itu.

So, ketika nomor itu mampir lagi, saya tidak tahu, itu nomor siapa.

Eh, kemudian nomor itu berkirim puisi. Cukup bagus menurut saya, maka saya mohon ijin pada pemilik nomor itu, bagaimana jika puisinya saya 'terbitkan' di blog ini. Ternyata pemilik nomor itu tak berkeberatan. Dan inilah puisinya....selamat mengapresiasi!

-0-

PURNAMA ABADI
(oleh: no name)

Setiap awal ada akhir
Yang seolah permulaan
Yang Sempurna
Seonggok rasa berjuta asa
Tuk wujudkan segala cita
Semua nyawa
Ingin akhir yang bahagia
Tanpa pengorbanan pastilah sia dan hampa
Secercah cahaya kunang jadi penuntun
Tapi tak selamanya.........
Namun ia tetap abadi
Dalam cahaya
Hingga akhir waktu
Datang menjemputnya

-0-

INNA MA’AL ‘USRI YUSRON

Pagi yang cerah. Saya berangkat ke kantor dengan penuh semangat. Hati rasanya demikian lapang. Padahal bulan ini, honor belum dibayarkan. Mungkin karena semalam telah bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dalam keterbatasan saranan.

Suami salah seorang teman kerja saya sedang mengerjakan tesis. Di rumah beliau telah tersedia komputer, tapi beliau belum begitu percaya diri untuk mengoperasikannya sendiri. Meski bukan pakar, tapi sedikit-sedikit saya bisa mengoperasikan benda itu dengan lebih baik, dibandingkan suaminya teman saya ini. Mengoperasikan lho, bukan memprogram atau mereparasi. Sebab saya bukan programmer, bukan pula teknisi. Benar-benar hanya seorang operator.

Maka dengan derajat yang ‘lebih baik’ itulah, teman saya meminta tolong pada saya untuk membantu memindahkan catatan pena suaminya ke dalam komputer. Saya menyanggupi.

Sorenya, sepulang dari kantor, saya sempatkan untuk ke warnet dulu, sebelum ke rumah teman saya itu. Rencananya, mau buka-buka email, sebab biasanya banyak informasi, cerpen, tips, catatan, dan lain sebagainya berhamburan di email. Bukan apa-apa, saya mendaftarkan email saya untuk dikirimi ‘buletin’ dari penulislepas. Jadi memang setiap kali saya buka email, cukup banyak email yang saya terima.

Selain itu, saya juga ingin sekedar nge-blog. Tapi alhamdulillah, komputernya luar biasa ‘alon’. So slow, sangat pelan sekali kerjanya. Ini adalah hal yang tidak biasa terjadi, sebab warnet langganan saya, biasanya sangat memuaskan ketika digunakan.

Tak apalah. Email tak bisa saya buka, apalagi dibaca, dinikmati, atau dibalas. Begitu pula dengan blog teman-teman, yang coba saya buka. Termasuk google (saya sedang mendapat PR untuk men-down load file NUPTK dari sekolah), juga tak bersedia membuka diri. Bahkan saat chat dengan teman pun, tiba-tiba sign out dengan sendirinya. Puisi yang sudah saya siapkan, juga tak terkirim. Masih parkir di buku ‘proses kreatif’ saya. Hehehe….agak keren dikit lah….punya buku ‘proses kreatif’ segala. J

Mungkin dengan lemotnya itu komputer, saya tidak terlena untuk berlama-lama di warnet. Yah, diambil hikmahnya saja.

Akhirnya saya hanya menghabiskan waktu kurang dari 1 jam di dalam warnet itu. Setelah itu, saya lanjutkan perjalanan ke rumah teman saya itu.

Singkat cerita, tibalah saatnya untuk saya memindahkan catatan suaminya teman saya itu ke komputer. Dan alhamdulillah, lagi-lagi, saya harus menghadapi komputer yang juga ‘alon’. So slow, bahkan kadang-kadang, tiba-tiba kembali ke desktop dengan sendirinya. Sedang asyik-asyiknya ngetik, eh, tak taunya keluar dari program. Tertutup, dan kembali parkir di desktop. Dalam keadaan normal, kita bisa mengetik 3-4 halaman dalam satu jam. Tapi ini? Alhamdulillah, catatan yang harus dipindah ke komputer, akhirnya bisa diketik semua. Mungkin sekitar 10 halaman, sebab saya juga tidak mengetik sejak halaman pertama, hanya tinggal meneruskan saja. Saya membutuhkan waktu sejak jam 18.30 – 23.00, diselingi dengan shalat. Dalam proses selama itu, berkali-kali dokumen yang saya ketikkan, harus hilang, harus ngadat, harus diganti file name nya. Akhirnya saya putuskan, untuk men-shut down file yang sedang saya kerjakan. Untuk shut down, komputer membutuhkan waktu hampir 10 menit. Akhirnya, karena tak sabar, saya tekan tombol restart. Maka mulailah dari awal lagi. Tak apa-apa, itung-itung untuk menguji kesabaran. Hehehe….

Menjelang pukul 20.00, komputer terasa lebih bersahabat untuk digunakan. Alhamdulillah, akhirnya pukul 23.00 lebih sekian menit, saya bisa beristirahat. Rasanya nikmat sekali, mengistirahatkan badan yang telah benar-benar merasa lelah. Dan paginya, saya merasa jauh lebih segar ketika menghirup udara pagi. Alhamdulillah….

Maka benarlah, ketika ALLOH menyatakan dalam firman-NYA:
“Sungguh, dalam kesulitan itu pasti ada kemudahan. Dan sungguh, dalam kesulitan, pasti ada kemudahan”

Itu adalah peristiwa yang mungkin bisa kita jumpai setiap hari. Dan kita melihat, menggerutu dan menyesali ‘nasib’, bukanlah penyelesaian yang baik. Menikmati proses dalam usaha maksimal yang bisa kita lakukan, saya rasa, itu adalah hal yang tidak terlalu buruk untuk dicoba. Bersabar dalam ujian? Harus itu….

I think, that is all.

Kota hujan, 09/05/08

PEMBUNUH TETANGGA TEMAN KERJAKU

‘Nguing….nguing….nguing….”
Makhluk kecil bermulut tajam runcing itu mendenging-denging di telingaku. Refleks, aku mengibaskan apapun yang ada di sekelilingku untuk mengusirnya. Bahkan kalau perlu, membunuhnya.

-0-

Sederetan kalimat di atas, mungkin bagus bila dikembangkan menjadi sebuah cerpen. Tapi sekarang, kita tidak akan melakukan itu. Lain kali saja, Insya ALLOH. Atau ada diantara pembaca yang bermaksud melakukan itu sekarang? Silakan!

Ada cerita menarik yang saya terima di akhir pekan kemarin. Tepatnya, dalam satu hari; Jum’at, 9 Mei 2008. Waktunya berbeda; pagi dan malam; tapi ceritanya sama: tentang nyamuk.

Siapa yang tak tahu nyamuk?

Makhluk kecil dan mungil, tapi kehadirannya meresahkan manusia. Bukan apa-apa, nyamuk membawa potensi, tapi juga rezeki. Potensi membuat manusia menderita, tapi juga rezeki bagi manusia-manusia kreatif untuk berkarya.

Seharusnya kita bisa menikmati hadirnya, bila saja si kecil penghisap darah ini bukan sosok pembawa petaka.

Tanggal 9 Mei 2008, pagi. Teman kerja saya bercerita.

Awalnya, kami sedang ngobrol ngalor ngidul, tapi sesekali teman saya ini menguap. Menguap itu tanda kantuk.
Jadi saya bertanya, mencoba menelisik: “Putranya sehat, kan, mba?”

Saya rasa, tak berlebihan ketika saya menanyakan itu. Pagi-pagi sudah berkali-kali menguap, memang menjadi indikasi dari kejadian semalam; yang bisa saja tidak beres: mungkin ada yang sakit, sehingga harus terus-menerus berjaga. Atau mungkin ada tugas yang harus diselesaikan karena paginya sudah harus dilaporkan. Dan tidak menutup kemungkinan ada sebab yang lain; misalnya karena memang dijatah meronda.

Dan benarlah, teman saya ini menjawab:
“Alhamdulillah….sehat. sudah sehat… minggu kemarin sempat panas, bahkan muntah-muntah. Saya sampai khawatir, jangan-jangan anak saya kena DB”

Ceritapun bergulir.
Ternyata, lingkungan tempat tinggal teman saya ini sedang diresahkan oleh aksi si makhluk kecil yang sedang kita perbincangkan ini: NYAMUK

Kata teman saya ini, satu orang telah terenggut jiwanya, dan ada sekitar 4 – 5 orang masih dalam keadaan sakit: Positif DB.

Malah kata temen saya ini juga, di tempatnya sedang dilakukan penyemprotan. Tentu saja, menyemprot si mungil pembawa maut itu.

Tak lama kemudian, teman saya ini masuk kelas untuk mengajar, karena bel masuk telah dibunyikan.

Dan saya merenung.
Sering kali, kita meremehkan sesuatu yang kecil. Padahal, sering kali juga, kita dihadapkan pada kenyataan, bahwa sesuatu yang kecil itulah justru yang lebih mematikan, lebih membahayakan, lebih memiliki pengaruh pada yang lain.

Saya rasa, jarang terjadi, ada kasus kematian manusia karena ditanduk sapi. Tapi yang lebih sering kita dengar, dan kita lihat, serta kita rasakan adalah: seekor nyamuk berhasil masuk berita karena ulahnya: meneguk darah manusia, hingga manusia itu meninggal.

Yah, begitulah nyatanya.

Dan malamnya, saya menerima kabar yang sama dari teman saya; Kang Nasspur. Kang Nasspur menjawab ketidaksabaran saya (--sungguh, saya ingin merubah perangai saya yang suka tak sabaran ini--) dengan berita itu: saya kena typus dan gejala DB. Jadi harus bed rest.

Awalnya, saya mengirim sms: “Dah dibuka emailnya?”

Sms itu saya kirimkan ke salah satu nomornya. Maklumlah, nomornya banyak sekali, sehingga saya spekulasi, mengirimkan sms itu ke salah satu nomornya. Sms saya diterima dengan baik. Tapi tak ada respon positif. Lalu saya kirimkan sms itu ke nomornya yang lain. Juga diterima dengan baik; begitulah laporan yang masuk ke hape saya. Tapi juga tetap tak ada respon.

Saya jadi bingung. Memang, punya hape lebih dari satu; di jaman sekarang ini; bukanlah sesuatu yang “wah”. Tapi yang membuat saya bingung adalah: mengapa sms saya tak direspon?

Akhirnya saya mengiringi sms yang tadi dengan sms berikutnya; bermaksud meminta kejelasan perihal nomornya; yang mana toh, yang jadi nomornya kang nasspur?

Masih juga tak ada respon.

Tak sabar, akhirnya saya berkirim pesan lagi; berisi permohonan maaf atas sms-sms saya yang mungkin menjadi pengganggu bagi kang nasspur, dsb, dsb. Bahkan saya juga ‘berjanji’, untuk tak lagi ‘menggaggunya’ (lha, emangnya saya niat ganggu, apa? Oh, tentu tidak…!)

Setelah sms itu terkirim, saya catat seluruh nomor yang saya simpan dengan namanya kang nasspur, pada buku pribadi saya. Lalu nomor-nomor kang nasspur saya hapus dari hape. (weh, ga ngefek sih sebenernya, lha wong dah disimpan di media yang lain? J )

Ini merupakan tindakan konyol. Hanya pantas dilakukan oleh anak kecil, yang memang belum bisa bersikap dewasa ketika ada permasalahan. Bukankah bila saya bersedia berpikir lebih jauh; hal-hal konyol seperti itu tak perlu terjadi? Mungkin kang nasspur memang masih benar-benar sakit, mungkin baterainya drop, mungkin pulsanya limit, mungkin, mungkin, dan mungkin. Ada begitu banyak kemungkinan ketika sms saya tak langsung ditanggapi.

Setelah aksi penghapusan nomor itu, saya tidur. Kepala yang sudah berat bin pening sejak siang, meminta saya untuk segera mengistirahatkannya. Tubuh saya memang akhir-akhir ini menjadi lebih ‘ringkih’. Sebentar-sebentar capai, sebentar-sebentar drop. Entah kenapa.

Saat terbangun, ternyata ada sms masuk, dari salah satu nomor kang nasspur yang telah saya hapus dari hape saya. Hehehe….akhirnya dibalas juga.

= …. saya typus dan gejala DB. Jadi harus bed rest =

Duh Rabbii…

Hati saya dihantam dengan palu penyesalan sedemikian hebat. Sungguh saya merasa sangat bersalah, telah berlaku tak adil pada orang lain: meminta orang lain segera merespon setiap aksi saya, padahal saya pun juga kadang-kadang lalai untuk memberikan perhatian-perhatian kecil pada yang lain.

Beberapa hari sebelumnya, kang nasspur memang mengabarkan pada teman-temannya, bahwa saat itu, beliau sedang mriyang. Tapi saya sungguh tak menyangka, ternyata mriyangnya separah itu.

Maafkan saya ya kang… maafkanlah ketidaksabaran saya. Sungguh, saya mohon maaf! Saya berjanji, sejak saat ini, saya akan belajar untuk lebih bersabar lagi.

Terima kasih, ALLOH. Kau ciptakan nyamuk, agar kami pandai-pandai mengambil pelajaran berharga dengan kehadirannya.

Bahkan membuat saya mematri janji: saya harus belajar lebih bersabar dalam segala hal.

Minggu, 11 Mei 2008

YAH...BEGINILAH

Beginilah kalau melakukan sesuatu tanpa perencanaan yang matang. Menyesal, sudah tak berguna lagi. Tapi mendinglah, kalau masih punya rasa sesal, jadi paling tidak, berarti memiliki niat untuk memperbaiki diri di kemudian hari.

Sudah sejak beberapa hari yang lalu, saya ingin sekali mengisi kembali blog saya ini. Saya bela-belain, jauh-jauh dari rumah saya di sudut desa Kranggan sana, ke Ajibarang, hanya untuk bisa meng-update posting.

Dan sekarang, saat kesempatan itu ada, catatan-catatan yang telah saya buat, belum masuk falshdisk. So? Ya... gini dech... Jadinya asal nulis.

Maaf banget kalau catatannya jadi ga mutu blas. Tapi hikmahnya adalah: jangan sekali-kali menunda pekerjaan, yang kira-kira pekerjaan itu masih bisa kita lakukan saat ini. Jangan tunggu nanti, apalagi besok, dan seterusnya. Bila coba-coba berleha-leha dengan waktu, maka lihatlah, rasakanlah...sering kita alami, beberapa pekerjaan telah menumpuk, dan semuanya meminta untuk diselesaikan. Dalam satu waktu, sudah limit lagi. Apa tidak pusing, tuh?

So...yuk, belajar memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Sesal dahulu pendapatan, biar tak nyesal kemudian, jangan diulangi lagi.

Salam

Sabtu, 03 Mei 2008

DIAJENG NIDA

Suatu ketika, saya chatting di warnet. Kemudian ada yang meng add nick name saya, lalu bertanya: darah biru, neh…?

Sudah sejak lama, saya ingin ‘mengklarifikasikan’ tentang DIAJENG_NIDA ini. Tapi Alhamdulillah, tidak juga kesampaian, sampai akhirnya, sekarang bisa saya lakukan. Ini sebenarnya tak perlu diklarifikasikan, karena toh juga hak semua orang untuk menggunakan nick-name apapun.

Ceritanya seperti ini:
Dulu…sekali, waktu saya masih sangat awam sekali (bahkan hingga detik ini pun, masih sangat banyak yang belum saya tahu…J) akan dunia maya, saya hanya mencoba dan mencoba. Tersesat ke sana, kesasar ke sini, terjerembab ke situ, terperosok, dan sebagainya. Waktu itu, saya benar-benar gagap (bahkan hingga detik ini!) menghadapi dunia yang terbentang luas di dalam layar monitor itu. Awalnya, saya menggunakan inidaku06 sebagai id saya. Tapi kemudian, karena terperosok, juga terjatuh, dan lain sebagainya, saya tidak bisa lagi menggunakan inidaku06 sebagai inisial keberadaan saya di dunia cyber. Hingga suatu hari, setelah saya membuat lagi account dengan nama diajeng_nida@yahoo.com, saya bermaksud menggunakan account tersebut untuk chatting.
Lalu, dereng-deng-deng-deng….ga bisa lagi.

So, mumpung ada yang jaga warnet lewat, saya bertanya : Ini kok ga bisa sih, mba?
Ternyata permasalahannya sederhana saja. Saat kita masuk melalui yahoo!messenger, seharusnya @yahoo.com nya, nda usah ditulis. Nah ini, saya tulis utuh dan bulat, tanpa dikurangi barang 1% pun (emangnya korupsi, main kurang-kurangan prosentase segala? J), saya ketikkan : diajeng_nida@yahoo.com, kemudian password saya ketikkan, lalu sign in.

Oalah, sampai kapanpun, tentu saja nda bakal nyambung. Yah…begitulah. Memang akhirnya, apapun harus dipelajari.
Saya memilih diajeng, karena terinspirasi panggilan sayang kakak saya, yang waktu itu, suka menyapa dan memanggil saya dengan ‘diajeng’. Mungkin karena kakakku asli jogja, jadi enjoy saja menggunakan kata ‘diajeng’ untuk memanggil diriku ini. Lalu kata nida; berarti panggilan (tapi kata ahlinya, loh…soalnya saya juga tak begitu paham). Jadilah, diajeng_nida, secara historis saya ambil dari “kebiasaan kakakku melekatkan kata ‘diajeng’ ketika memanggil saya, sebagai panggilan sayang kakak saya untuk saya”. Bagi saya, ini sangat berkesan, dan layak diabadikan. Dia begitu baik, meski lain ayah lain ibu dengan saya. Kakak saya; yang dulu suka memanggil saya dengan ‘diajeng’; belum pernah bertemu dengan saya. Kami hanya tahu wajah masing-masing kami dari selembar foto. Sekarang, kakak saya itu (yang asli jogja, dan bekerja di Kalimantan), sedang menantikan kelahiran putranya yang pertama. Doakan yuk… biar semua lancar-lancar saja. Aamiin.

Itulah tentang diajeng_nida. So, nda ada hubungannya sama sekali dengan darah biru. Dan lagi, kebetulan, warna darahku hanya dua, merah dan putih. J J

Buat kakakku di Kalimantan sana, diajeng titip salam buat mba Leni, yah… kabari diajeng, jika baby-nya telah lahir. Thanks

Kamis, 01 Mei 2008

HARI INI

Hari ini bukanlah kemarin. Kemarin, hari ini dan esok hari. Apanya yang berbeda?

Hari ini saya ikut kegiatan lomba murottal di Purwokerto. Tepatnya di Masjid 17, komplek SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto.

Lomba ini diadakan oleh Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Banyumas, dalam rangka memperingati milad Nasyiah yang ke-77.

Selain lomnba murottal, ada juga lomba menyanyi untuk siswi TK Aisyiyah se Kabupaten Banyumas, dan lomba Kaligrafi.

Sebenarnya bukan itu yang ingin saya laporkan. Saya ingin mengatakan tentang pentingnya memanfaatkan waktu demi waktu, hari demi hari, agar esok kita tidak buram.

Bila kemarin kita bersiap dengan persiapan yang cukup matang untuk hari ini, maka mungkin, hari ini cukup nyaman untuk dilewati. Begitu lah seterusnya. Kemarin untuk hari ini, hari ini adalah hasil hari kemarin dan untuk hari esok, dan hari esok adalah apa yang telah kita lakukan hari ini. Begitu, bukan?

Jauh-jauh hari, DIA telah mengingatkan kita akan pentingnya waktu. Hari ini, dan hari esok. Seperti yang tadi saya baca waktu lomba, Q. S Al-Hasyr ayat 18-24. Buka dan lebih maknailah sendiri. Begitu catatan hari ini...

Kamis, 24 April 2008

JANGAN DILEPEKI…CUKUP 1 UNTUK 2 GELAS…

Betapa banyak pelajaran berharga hari ini (Selasa, 22 April 2008), mungkin ini juga sebabnya, mengapa saya tak kunjung bertemu dengan pangeran tambatan kalbu (lho, hubungannya apa?).

Sebab Allah tahu, saya belum bisa melayani sang pangeran itu nanti dengan baik. Menyajikan minuman saja masih belum becus…

Ceritanya, sejak hari ini, Ujian Nasional SMA/SMK/MA mulai digelar. Saya menjadi salah satu anggota panitia, tepatnya menjadi sie segala rupa (Hiks! Hiks! Hiks!). ngetik-ngetik surat-surat, menjadi tugas saya. Membuat buku panduan, motokopi, nempel foto, sampai pada urusan konsumsi. Saya senang, karena dengan melakukan ini semua, mudah-mudahan akan banyak pelajaran berharga dalam babak kehidupan ini bisa saya peroleh.

Jujur, saya canggung untuk mengurusi hal yang satu ini: Konsumsi. Sebab saya adalah orang yang hanya tahu, bila ini halal dan enak, maka untuk apa tidak dinikmati? Saya; meskipun wanita tulen, masih buta tuli untuk hal-hal semacam ini. Menunya akan apa? Yang seperti apa? Yang harganya berapa? Minumnya bagaimana? Dan sebagainya, dan seterusnya. Tapi saya tak akan pernah bisa, bila saya tidak mencoba. Maka saya pun mencoba.

Saat membuat teh celup, kesalahan pertama membuat saya belajar.
Saya sangat jarang membuat teh celup. Saya mengkonsumsi air bening sebagai air minum utama setiap hari. Baik di rumah, juga di sekolah. Ibu juga sangat jarang membuatkan teh untuk keluarga, kecuali bila akan ada acara kumpul-kumpul. Semisal pengajian, atau apa.

Dan saat membuat teh celup itu, pikir saya, satu bungkus untuk satu gelas. Setelah membuat hampir 10 gelas, ibu guru yang menjadi partner kerja saya, dan beliau sangat jauh berpengalaman, terkaget-kaget.
“Whaduh…deneng sih? De, sebungkus kuwe cukup nggo rong gelas apa telung gelas. Cukup dicelup-celup sedela, terus pindah gelas liyane”
(“Whaduh….lha, kok? De, satu bungkus itu cukup untuk dua gelas atau tiga gelas. Cukup dicelup-celupkan sebentar, kemudian pindah ke gelas yang lainnya lagi”)

Saya hanya tertawa ngakak mendengar ‘teguran’ refleks dari ibu guru saya ini. Menertawakan kebodohan saya sendiri. Pantaslah, warna air teh yang ada dalam minuman yang saya buat, amat sangat merah tua sekali. Oalah… kelebihan dosis rupanya.

Lalu saat penyajian.
Inilah ruginya orang yang terlalu cuek dengan segala hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti saya. Yang hanya menikmati dan mengikuti arus kehidupan yang mengalir, tanpa pernah mau memperhatikan, bagaimana aliran itu, dari mana, akan kemana, bagaimana dan mengapa.

Gelas, menurut saya adalah benda sederhana, yang bila diisi air minum, untuk diberikan pada tamu, harus dialasi dan harus ditutupi.

Itu pula yang saya lakukan. Setelah teh-teh itu siap, saya letakkan masing-masing gelas itu di tatakan gelas, kemudian atasnya saya tutup rapat dengan tutup gelas yang ada. Sempurna, bukan? Ya, tentu saja itu penilaian subjektif dari saya sendiri, selaku orang yang telah berusaha, bekerja keras, untuk dapat menyajikan yang terbaik. Tapi apa yang terjadi?

“Whaduh De….gelase aja ditataki (Whaduh De… gelasnya jangan diberi tatakan!)”, seru ibu guru yang menjadi partner kerjaku, kembali kaget.

Dan aku kembali tertawa, lagi-lagi, menertawakan kebodohanku sendiri.
Aku pun mengambil pelajaran itu, sebuah pelajaran berharga untuk mata pelajaran etika menghormati tamu.

Oh, jadi untuk gelas yang ukurannya telah cukup besar, lengkap dengan pegangan gelas, tak perlu ditataki. Berarti, tatakan gelas hanya berlaku untuk ‘gelas-gelas kroco’ seperti yang aku miliki di rumah. Ya,ya,ya… saya berjanji, hal kecil yang sungguh sangat memalukan seperti itu, tak perlu lagi terulang di kemudian hari.

Saya jadi bertambah malu, terutama bila mengingat kemungkinan (dan sialnya, kemungkinan itu sangat besar!), tamu yang kami suguh, lebih mengerti etika sopan santun dalam menghargai tamu, untuk segala tetek bengeknya, disbanding saya. Ini kesalahan kecil, tapi karena dilakukan dalam sebuah institusi, jadilah semua kena getahnya: Staf TU Madrasah ini, tak bisa menggunakan gelas dengan baik. Oalah, memalukan sekali.

Ah, kehidupan. Itulah. Sesuatu yang kecil, sepele, tapi sebenarnya tak akan pernah bisa dilakukan dengan baik, tanpa belajar. Maka saya sangat sepakat: belajar, belajar, dan belajarlah. Dimanapun, kapanpun, dan situasi yang bagaimanapun. Karena segala hal itu ada ilmunya, dan ilmu hanya akan bisa diperoleh, dengan belajar. Setuju?