Senin, 26 Mei 2008

PERSAHABATAN DAN CINTA

Siang ini panas sekali. Saya mampir ke warnet. Ada perlu ke sebuah tempat, jadi saya sempatin mampir ke sini. Untunglah, saya membawa buku catatan yang telah terisi coretan beberapa waktu yang lalu. Alhamdulillah, akhirnya bisa posting tulisan, meski sederhana, dan mungkin, bagi sebagian sidang pembaca, dinilai tak mutu sama sekali. Tak masalah. Kata temenku, sekarang yang penting tulis dulu, jangan berpikir bagus atau tidak, bermutu atau tak laku. Tulis dan tulis dulu, maka mutu akan mengikuti dengan sendirinya, Insya ALLOH.

So, selamat membaca!

Untuk seseorang yang jauh di seberang lautan sana....

Sahabatku, mungkin kamu benar, sewaktu menyatakan bahwa: "Persahabatan seringkali berakhir dengan percintaan, tapi tidak berlaku sebaliknya"

Mungkin, kini saya merasakannya. Susah payah saya menjaga rasa ini, agar persahabatan yang terjalin, tak perlu berkembang dalam wujud lain. Tapi ternyata itu tak mudah.

Lalu, saat cinta itu tak berbunga, susah payah saya menjaga ikatannya, agar tak perlu ada luka demi luka yang merongrong sebuah keadilan dalam berinteraksi dengan sesama. Dan lagi-lagi, saya letih menegakkan teori ini, karena memang hal itu lebih sulit dari yang pertama tadi.

Manusia biasa hanya tahu, tak perlu sama sekali ada cerita setelah sebuah kisah cinta itu usai. Tapi apakah benar-benar harus begitu? Tak bolehkah tetap ada cerita, dalam bingkai cerita persahabatan yang lebih tulus? Entahlah.

Barangkali juga, apa yang disarankan oleh salah seorang sahabatku yang jauh di sana, ada benarnya juga: sudahlah, sekarang, jalani saja rel kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, semaksimal yang kita bisa. Akhir dari seluruh cerita hidup ini, sungguh merupakan misteri, dan sebuah kejutan menanti kita di suatu bentangan masa yang pasti akan menghampiri.

Sungguh, betapa tipisnya batas antara persahabatan dan percintaan. Berperan sebagai sahabat dan kekasih, ibarat berjalan di tanah perbatasan.

Entahlah. Saya tak tahu.

Minggu, 25 Mei 2008

KATAKANLAH, AGAR SAYA TAHU……..

Betapa banyak kejadian saya alami setiap hari. Kejadian-kejadian; yang sebenarnya pasti sangat remeh dan sepele dalam pandangan manusia; tapi sungguh menyiratkan begitu banyak pelajaran. Seperti gemericik air yang mengajarkan kesejukan, seperti semilir angin yang mengajarkan kedamaian, seperti debur ombak yang mengajarkan optimisme, seperti tegak karang yang mengajarkan ketegaran, seperti…., seperti…., seperti….

Maka berbahagialah, bagi orang yang mampu mengambil pelajaran dari itu semua. Bukankah saat semakin banyak pelajaran dapat diambil, bukankah akan semakin mudah dalam mengarungi dan meniti kehidupan?
Orang yang terampil mengerjakan soal-soal matematika, tentu saja sebab dia telah paham betul dengan ilmunya. Seperti, seperti, dan seperti yang serupa dengan itu.

Maka hari ini (Rabu, 21 Mei 2008), saya diajari sebuah hal penting dalam interaksi saya di kantor.

Telah menjadi hal yang lumrah, bahwasanya, setiap interaksi, pastilah akan melibatkan aksi-reaksi, bahkan tak jarang konflik. Hal yang terakhir inilah mungkin yang saya alami hari ini.

Awalnya sederhana: tak ada komunikasi untuk melakukan suatu pekerjaan. Jadilah, ada yang pro untuk dilakukannya pekerjaan itu (nyuci piring), ada pula yang kontra.

Akhirnya piring bisa dicuci, tapi dengan sekian banyak embel-embel komentar. Darah saya mendidih! Waktu itu jam 12 siang, saat terik matahari tepat di atas kepala, dalam keadaan tubuh telah lelah setelah usai menunaikan tugas di kantor.

Saya paling tidak bisa menerima, ketika saya bekerja, ada begitu banyak komentar yang dilontarkan. Lha wong ini kemauan saya untuk nyuci piring, kok, kalau mau bantu ya ayo, dibantu, kalau tidak akan membantu, ya sudah, diam saja lah. Begitulah egoisme saya berbicara.

Cas-cis-cus tak karuan berdesingan di telinga saya, dan akhirnya saya memutuskan untuk menghentikan pekerjaan ini. Kesalahan saya adalah: saya tak mengkomunikasikan mengapa saya berhenti nyuci piring. Sehingga, setelah selesai pekerjaan itu, sekian banyak tanda tanya dan suudzan menghampiri hati dan kepala-kepala kami.

Dari kasus ini kemudian saya berkesimpulan: ooo, ternyata, hal sederhana bagaimanapun, bisa menjadi pemicu sebuah konflik. Agar tak terjadi hal yang demikian; yah, minimal bisa dikurangi lah, konfliknya; saya harus tidak segan untuk mengkomunikasikan semuanya. Bila marah, katakanlah bahwa kita sedang marah. Bila puas, katakanlah puas. Bila tak setuju, katakanlah tidak setuju. Bila setuju, ungkapkanlah persetujuan itu.

Saya yakin, bila saja itu semua bisa dibicarakan secara arif bijaksana, dengan cara yang baik dan tepat, insya ALLOH, konflik bisa sedikit diredam. Karena semua kembali ke sehat-tidaknya interaksi kita dengan sesama.

Begitulah hidup. Menawarkan berbagai mata pelajaran untuk dikaji dan diamalkan. Semoga kita bisa mengambil sebanyak-banyaknya pelajaran dari digelarnya drama kehidupan di alam raya ini. Aamiin

I think, that’s all. Salam.

Rabu, 14 Mei 2008

PURNAMA ABADI

Beberapa hari yang lalu, nomor saya dihubungi oleh nomor tak dikenal. Mungkin nomor itu pernah masuk di phonebook hape saya, tapi terus hilang bersamaan dengan insiden hilangnya kartu simpati saya waktu itu.

So, ketika nomor itu mampir lagi, saya tidak tahu, itu nomor siapa.

Eh, kemudian nomor itu berkirim puisi. Cukup bagus menurut saya, maka saya mohon ijin pada pemilik nomor itu, bagaimana jika puisinya saya 'terbitkan' di blog ini. Ternyata pemilik nomor itu tak berkeberatan. Dan inilah puisinya....selamat mengapresiasi!

-0-

PURNAMA ABADI
(oleh: no name)

Setiap awal ada akhir
Yang seolah permulaan
Yang Sempurna
Seonggok rasa berjuta asa
Tuk wujudkan segala cita
Semua nyawa
Ingin akhir yang bahagia
Tanpa pengorbanan pastilah sia dan hampa
Secercah cahaya kunang jadi penuntun
Tapi tak selamanya.........
Namun ia tetap abadi
Dalam cahaya
Hingga akhir waktu
Datang menjemputnya

-0-

INNA MA’AL ‘USRI YUSRON

Pagi yang cerah. Saya berangkat ke kantor dengan penuh semangat. Hati rasanya demikian lapang. Padahal bulan ini, honor belum dibayarkan. Mungkin karena semalam telah bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dalam keterbatasan saranan.

Suami salah seorang teman kerja saya sedang mengerjakan tesis. Di rumah beliau telah tersedia komputer, tapi beliau belum begitu percaya diri untuk mengoperasikannya sendiri. Meski bukan pakar, tapi sedikit-sedikit saya bisa mengoperasikan benda itu dengan lebih baik, dibandingkan suaminya teman saya ini. Mengoperasikan lho, bukan memprogram atau mereparasi. Sebab saya bukan programmer, bukan pula teknisi. Benar-benar hanya seorang operator.

Maka dengan derajat yang ‘lebih baik’ itulah, teman saya meminta tolong pada saya untuk membantu memindahkan catatan pena suaminya ke dalam komputer. Saya menyanggupi.

Sorenya, sepulang dari kantor, saya sempatkan untuk ke warnet dulu, sebelum ke rumah teman saya itu. Rencananya, mau buka-buka email, sebab biasanya banyak informasi, cerpen, tips, catatan, dan lain sebagainya berhamburan di email. Bukan apa-apa, saya mendaftarkan email saya untuk dikirimi ‘buletin’ dari penulislepas. Jadi memang setiap kali saya buka email, cukup banyak email yang saya terima.

Selain itu, saya juga ingin sekedar nge-blog. Tapi alhamdulillah, komputernya luar biasa ‘alon’. So slow, sangat pelan sekali kerjanya. Ini adalah hal yang tidak biasa terjadi, sebab warnet langganan saya, biasanya sangat memuaskan ketika digunakan.

Tak apalah. Email tak bisa saya buka, apalagi dibaca, dinikmati, atau dibalas. Begitu pula dengan blog teman-teman, yang coba saya buka. Termasuk google (saya sedang mendapat PR untuk men-down load file NUPTK dari sekolah), juga tak bersedia membuka diri. Bahkan saat chat dengan teman pun, tiba-tiba sign out dengan sendirinya. Puisi yang sudah saya siapkan, juga tak terkirim. Masih parkir di buku ‘proses kreatif’ saya. Hehehe….agak keren dikit lah….punya buku ‘proses kreatif’ segala. J

Mungkin dengan lemotnya itu komputer, saya tidak terlena untuk berlama-lama di warnet. Yah, diambil hikmahnya saja.

Akhirnya saya hanya menghabiskan waktu kurang dari 1 jam di dalam warnet itu. Setelah itu, saya lanjutkan perjalanan ke rumah teman saya itu.

Singkat cerita, tibalah saatnya untuk saya memindahkan catatan suaminya teman saya itu ke komputer. Dan alhamdulillah, lagi-lagi, saya harus menghadapi komputer yang juga ‘alon’. So slow, bahkan kadang-kadang, tiba-tiba kembali ke desktop dengan sendirinya. Sedang asyik-asyiknya ngetik, eh, tak taunya keluar dari program. Tertutup, dan kembali parkir di desktop. Dalam keadaan normal, kita bisa mengetik 3-4 halaman dalam satu jam. Tapi ini? Alhamdulillah, catatan yang harus dipindah ke komputer, akhirnya bisa diketik semua. Mungkin sekitar 10 halaman, sebab saya juga tidak mengetik sejak halaman pertama, hanya tinggal meneruskan saja. Saya membutuhkan waktu sejak jam 18.30 – 23.00, diselingi dengan shalat. Dalam proses selama itu, berkali-kali dokumen yang saya ketikkan, harus hilang, harus ngadat, harus diganti file name nya. Akhirnya saya putuskan, untuk men-shut down file yang sedang saya kerjakan. Untuk shut down, komputer membutuhkan waktu hampir 10 menit. Akhirnya, karena tak sabar, saya tekan tombol restart. Maka mulailah dari awal lagi. Tak apa-apa, itung-itung untuk menguji kesabaran. Hehehe….

Menjelang pukul 20.00, komputer terasa lebih bersahabat untuk digunakan. Alhamdulillah, akhirnya pukul 23.00 lebih sekian menit, saya bisa beristirahat. Rasanya nikmat sekali, mengistirahatkan badan yang telah benar-benar merasa lelah. Dan paginya, saya merasa jauh lebih segar ketika menghirup udara pagi. Alhamdulillah….

Maka benarlah, ketika ALLOH menyatakan dalam firman-NYA:
“Sungguh, dalam kesulitan itu pasti ada kemudahan. Dan sungguh, dalam kesulitan, pasti ada kemudahan”

Itu adalah peristiwa yang mungkin bisa kita jumpai setiap hari. Dan kita melihat, menggerutu dan menyesali ‘nasib’, bukanlah penyelesaian yang baik. Menikmati proses dalam usaha maksimal yang bisa kita lakukan, saya rasa, itu adalah hal yang tidak terlalu buruk untuk dicoba. Bersabar dalam ujian? Harus itu….

I think, that is all.

Kota hujan, 09/05/08

PEMBUNUH TETANGGA TEMAN KERJAKU

‘Nguing….nguing….nguing….”
Makhluk kecil bermulut tajam runcing itu mendenging-denging di telingaku. Refleks, aku mengibaskan apapun yang ada di sekelilingku untuk mengusirnya. Bahkan kalau perlu, membunuhnya.

-0-

Sederetan kalimat di atas, mungkin bagus bila dikembangkan menjadi sebuah cerpen. Tapi sekarang, kita tidak akan melakukan itu. Lain kali saja, Insya ALLOH. Atau ada diantara pembaca yang bermaksud melakukan itu sekarang? Silakan!

Ada cerita menarik yang saya terima di akhir pekan kemarin. Tepatnya, dalam satu hari; Jum’at, 9 Mei 2008. Waktunya berbeda; pagi dan malam; tapi ceritanya sama: tentang nyamuk.

Siapa yang tak tahu nyamuk?

Makhluk kecil dan mungil, tapi kehadirannya meresahkan manusia. Bukan apa-apa, nyamuk membawa potensi, tapi juga rezeki. Potensi membuat manusia menderita, tapi juga rezeki bagi manusia-manusia kreatif untuk berkarya.

Seharusnya kita bisa menikmati hadirnya, bila saja si kecil penghisap darah ini bukan sosok pembawa petaka.

Tanggal 9 Mei 2008, pagi. Teman kerja saya bercerita.

Awalnya, kami sedang ngobrol ngalor ngidul, tapi sesekali teman saya ini menguap. Menguap itu tanda kantuk.
Jadi saya bertanya, mencoba menelisik: “Putranya sehat, kan, mba?”

Saya rasa, tak berlebihan ketika saya menanyakan itu. Pagi-pagi sudah berkali-kali menguap, memang menjadi indikasi dari kejadian semalam; yang bisa saja tidak beres: mungkin ada yang sakit, sehingga harus terus-menerus berjaga. Atau mungkin ada tugas yang harus diselesaikan karena paginya sudah harus dilaporkan. Dan tidak menutup kemungkinan ada sebab yang lain; misalnya karena memang dijatah meronda.

Dan benarlah, teman saya ini menjawab:
“Alhamdulillah….sehat. sudah sehat… minggu kemarin sempat panas, bahkan muntah-muntah. Saya sampai khawatir, jangan-jangan anak saya kena DB”

Ceritapun bergulir.
Ternyata, lingkungan tempat tinggal teman saya ini sedang diresahkan oleh aksi si makhluk kecil yang sedang kita perbincangkan ini: NYAMUK

Kata teman saya ini, satu orang telah terenggut jiwanya, dan ada sekitar 4 – 5 orang masih dalam keadaan sakit: Positif DB.

Malah kata temen saya ini juga, di tempatnya sedang dilakukan penyemprotan. Tentu saja, menyemprot si mungil pembawa maut itu.

Tak lama kemudian, teman saya ini masuk kelas untuk mengajar, karena bel masuk telah dibunyikan.

Dan saya merenung.
Sering kali, kita meremehkan sesuatu yang kecil. Padahal, sering kali juga, kita dihadapkan pada kenyataan, bahwa sesuatu yang kecil itulah justru yang lebih mematikan, lebih membahayakan, lebih memiliki pengaruh pada yang lain.

Saya rasa, jarang terjadi, ada kasus kematian manusia karena ditanduk sapi. Tapi yang lebih sering kita dengar, dan kita lihat, serta kita rasakan adalah: seekor nyamuk berhasil masuk berita karena ulahnya: meneguk darah manusia, hingga manusia itu meninggal.

Yah, begitulah nyatanya.

Dan malamnya, saya menerima kabar yang sama dari teman saya; Kang Nasspur. Kang Nasspur menjawab ketidaksabaran saya (--sungguh, saya ingin merubah perangai saya yang suka tak sabaran ini--) dengan berita itu: saya kena typus dan gejala DB. Jadi harus bed rest.

Awalnya, saya mengirim sms: “Dah dibuka emailnya?”

Sms itu saya kirimkan ke salah satu nomornya. Maklumlah, nomornya banyak sekali, sehingga saya spekulasi, mengirimkan sms itu ke salah satu nomornya. Sms saya diterima dengan baik. Tapi tak ada respon positif. Lalu saya kirimkan sms itu ke nomornya yang lain. Juga diterima dengan baik; begitulah laporan yang masuk ke hape saya. Tapi juga tetap tak ada respon.

Saya jadi bingung. Memang, punya hape lebih dari satu; di jaman sekarang ini; bukanlah sesuatu yang “wah”. Tapi yang membuat saya bingung adalah: mengapa sms saya tak direspon?

Akhirnya saya mengiringi sms yang tadi dengan sms berikutnya; bermaksud meminta kejelasan perihal nomornya; yang mana toh, yang jadi nomornya kang nasspur?

Masih juga tak ada respon.

Tak sabar, akhirnya saya berkirim pesan lagi; berisi permohonan maaf atas sms-sms saya yang mungkin menjadi pengganggu bagi kang nasspur, dsb, dsb. Bahkan saya juga ‘berjanji’, untuk tak lagi ‘menggaggunya’ (lha, emangnya saya niat ganggu, apa? Oh, tentu tidak…!)

Setelah sms itu terkirim, saya catat seluruh nomor yang saya simpan dengan namanya kang nasspur, pada buku pribadi saya. Lalu nomor-nomor kang nasspur saya hapus dari hape. (weh, ga ngefek sih sebenernya, lha wong dah disimpan di media yang lain? J )

Ini merupakan tindakan konyol. Hanya pantas dilakukan oleh anak kecil, yang memang belum bisa bersikap dewasa ketika ada permasalahan. Bukankah bila saya bersedia berpikir lebih jauh; hal-hal konyol seperti itu tak perlu terjadi? Mungkin kang nasspur memang masih benar-benar sakit, mungkin baterainya drop, mungkin pulsanya limit, mungkin, mungkin, dan mungkin. Ada begitu banyak kemungkinan ketika sms saya tak langsung ditanggapi.

Setelah aksi penghapusan nomor itu, saya tidur. Kepala yang sudah berat bin pening sejak siang, meminta saya untuk segera mengistirahatkannya. Tubuh saya memang akhir-akhir ini menjadi lebih ‘ringkih’. Sebentar-sebentar capai, sebentar-sebentar drop. Entah kenapa.

Saat terbangun, ternyata ada sms masuk, dari salah satu nomor kang nasspur yang telah saya hapus dari hape saya. Hehehe….akhirnya dibalas juga.

= …. saya typus dan gejala DB. Jadi harus bed rest =

Duh Rabbii…

Hati saya dihantam dengan palu penyesalan sedemikian hebat. Sungguh saya merasa sangat bersalah, telah berlaku tak adil pada orang lain: meminta orang lain segera merespon setiap aksi saya, padahal saya pun juga kadang-kadang lalai untuk memberikan perhatian-perhatian kecil pada yang lain.

Beberapa hari sebelumnya, kang nasspur memang mengabarkan pada teman-temannya, bahwa saat itu, beliau sedang mriyang. Tapi saya sungguh tak menyangka, ternyata mriyangnya separah itu.

Maafkan saya ya kang… maafkanlah ketidaksabaran saya. Sungguh, saya mohon maaf! Saya berjanji, sejak saat ini, saya akan belajar untuk lebih bersabar lagi.

Terima kasih, ALLOH. Kau ciptakan nyamuk, agar kami pandai-pandai mengambil pelajaran berharga dengan kehadirannya.

Bahkan membuat saya mematri janji: saya harus belajar lebih bersabar dalam segala hal.

Minggu, 11 Mei 2008

YAH...BEGINILAH

Beginilah kalau melakukan sesuatu tanpa perencanaan yang matang. Menyesal, sudah tak berguna lagi. Tapi mendinglah, kalau masih punya rasa sesal, jadi paling tidak, berarti memiliki niat untuk memperbaiki diri di kemudian hari.

Sudah sejak beberapa hari yang lalu, saya ingin sekali mengisi kembali blog saya ini. Saya bela-belain, jauh-jauh dari rumah saya di sudut desa Kranggan sana, ke Ajibarang, hanya untuk bisa meng-update posting.

Dan sekarang, saat kesempatan itu ada, catatan-catatan yang telah saya buat, belum masuk falshdisk. So? Ya... gini dech... Jadinya asal nulis.

Maaf banget kalau catatannya jadi ga mutu blas. Tapi hikmahnya adalah: jangan sekali-kali menunda pekerjaan, yang kira-kira pekerjaan itu masih bisa kita lakukan saat ini. Jangan tunggu nanti, apalagi besok, dan seterusnya. Bila coba-coba berleha-leha dengan waktu, maka lihatlah, rasakanlah...sering kita alami, beberapa pekerjaan telah menumpuk, dan semuanya meminta untuk diselesaikan. Dalam satu waktu, sudah limit lagi. Apa tidak pusing, tuh?

So...yuk, belajar memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Sesal dahulu pendapatan, biar tak nyesal kemudian, jangan diulangi lagi.

Salam

Sabtu, 03 Mei 2008

DIAJENG NIDA

Suatu ketika, saya chatting di warnet. Kemudian ada yang meng add nick name saya, lalu bertanya: darah biru, neh…?

Sudah sejak lama, saya ingin ‘mengklarifikasikan’ tentang DIAJENG_NIDA ini. Tapi Alhamdulillah, tidak juga kesampaian, sampai akhirnya, sekarang bisa saya lakukan. Ini sebenarnya tak perlu diklarifikasikan, karena toh juga hak semua orang untuk menggunakan nick-name apapun.

Ceritanya seperti ini:
Dulu…sekali, waktu saya masih sangat awam sekali (bahkan hingga detik ini pun, masih sangat banyak yang belum saya tahu…J) akan dunia maya, saya hanya mencoba dan mencoba. Tersesat ke sana, kesasar ke sini, terjerembab ke situ, terperosok, dan sebagainya. Waktu itu, saya benar-benar gagap (bahkan hingga detik ini!) menghadapi dunia yang terbentang luas di dalam layar monitor itu. Awalnya, saya menggunakan inidaku06 sebagai id saya. Tapi kemudian, karena terperosok, juga terjatuh, dan lain sebagainya, saya tidak bisa lagi menggunakan inidaku06 sebagai inisial keberadaan saya di dunia cyber. Hingga suatu hari, setelah saya membuat lagi account dengan nama diajeng_nida@yahoo.com, saya bermaksud menggunakan account tersebut untuk chatting.
Lalu, dereng-deng-deng-deng….ga bisa lagi.

So, mumpung ada yang jaga warnet lewat, saya bertanya : Ini kok ga bisa sih, mba?
Ternyata permasalahannya sederhana saja. Saat kita masuk melalui yahoo!messenger, seharusnya @yahoo.com nya, nda usah ditulis. Nah ini, saya tulis utuh dan bulat, tanpa dikurangi barang 1% pun (emangnya korupsi, main kurang-kurangan prosentase segala? J), saya ketikkan : diajeng_nida@yahoo.com, kemudian password saya ketikkan, lalu sign in.

Oalah, sampai kapanpun, tentu saja nda bakal nyambung. Yah…begitulah. Memang akhirnya, apapun harus dipelajari.
Saya memilih diajeng, karena terinspirasi panggilan sayang kakak saya, yang waktu itu, suka menyapa dan memanggil saya dengan ‘diajeng’. Mungkin karena kakakku asli jogja, jadi enjoy saja menggunakan kata ‘diajeng’ untuk memanggil diriku ini. Lalu kata nida; berarti panggilan (tapi kata ahlinya, loh…soalnya saya juga tak begitu paham). Jadilah, diajeng_nida, secara historis saya ambil dari “kebiasaan kakakku melekatkan kata ‘diajeng’ ketika memanggil saya, sebagai panggilan sayang kakak saya untuk saya”. Bagi saya, ini sangat berkesan, dan layak diabadikan. Dia begitu baik, meski lain ayah lain ibu dengan saya. Kakak saya; yang dulu suka memanggil saya dengan ‘diajeng’; belum pernah bertemu dengan saya. Kami hanya tahu wajah masing-masing kami dari selembar foto. Sekarang, kakak saya itu (yang asli jogja, dan bekerja di Kalimantan), sedang menantikan kelahiran putranya yang pertama. Doakan yuk… biar semua lancar-lancar saja. Aamiin.

Itulah tentang diajeng_nida. So, nda ada hubungannya sama sekali dengan darah biru. Dan lagi, kebetulan, warna darahku hanya dua, merah dan putih. J J

Buat kakakku di Kalimantan sana, diajeng titip salam buat mba Leni, yah… kabari diajeng, jika baby-nya telah lahir. Thanks

Kamis, 01 Mei 2008

HARI INI

Hari ini bukanlah kemarin. Kemarin, hari ini dan esok hari. Apanya yang berbeda?

Hari ini saya ikut kegiatan lomba murottal di Purwokerto. Tepatnya di Masjid 17, komplek SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto.

Lomba ini diadakan oleh Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Banyumas, dalam rangka memperingati milad Nasyiah yang ke-77.

Selain lomnba murottal, ada juga lomba menyanyi untuk siswi TK Aisyiyah se Kabupaten Banyumas, dan lomba Kaligrafi.

Sebenarnya bukan itu yang ingin saya laporkan. Saya ingin mengatakan tentang pentingnya memanfaatkan waktu demi waktu, hari demi hari, agar esok kita tidak buram.

Bila kemarin kita bersiap dengan persiapan yang cukup matang untuk hari ini, maka mungkin, hari ini cukup nyaman untuk dilewati. Begitu lah seterusnya. Kemarin untuk hari ini, hari ini adalah hasil hari kemarin dan untuk hari esok, dan hari esok adalah apa yang telah kita lakukan hari ini. Begitu, bukan?

Jauh-jauh hari, DIA telah mengingatkan kita akan pentingnya waktu. Hari ini, dan hari esok. Seperti yang tadi saya baca waktu lomba, Q. S Al-Hasyr ayat 18-24. Buka dan lebih maknailah sendiri. Begitu catatan hari ini...