Kamis, 18 Desember 2008

Bikin Cerpen? Yuk...

Ada tawaran menarik.
MEMBUAT CERPEN
Wuih, siapa sanggup menolak? Tapi masalahnya, sekarang saya dalam keadaan tidak sanggup memeras otak untuk mengurusi huruf demi huruf itu. Jangankan menjadi sebuah cerpen, menjadi sebait puisi saja tidak. Wah, payah!
Cinta seharusnya cukup menjadi motivasi untuk melakukan apapun, yang terbaik, sebagai bukti bahwa keberadaan sang kekasih bukan menjadi pengganggu, tapi justru menjadi pemicu dan pemacu berkarya sebanyak-banyaknya dan sebagus-bagusnya. Entahlah.
Di awal tahun ini, saya telah meniatkan diri, agar salah satu tulisan saya, bisa tampil di salah satu media. Tapi sampai detik ini, masil 0 (nol) buktinya. Memalukan!
Bikin Cerpen? yuk...

Thanks My Heart....

Thanks My Heart
Atas cinta yang kau curahkan padaku. Cinta yang menyadarkanku, sungguh, tidaklah Allah menciptakanku seorang diri.
Thanks My Heart
Atas rindu yang kau selimutkan untukku. Rindu yang mengingatkanku, bahwa tak sepatutnya saya bermuram durja menghadapi hari-hari. Sebab ada hatimu, yang senantiasa siap mendengar jerit rinduku.
Thanks My Heart
Atas sayang yang kau payungkan di atas kepalaku. Sayang yang membuatku merasa menjadi satu-satunya yang berharga dalam hidupmu.
-0-
My Heart...
Entahlah. Saya hanya merasa nyaman dengan menyematkan dua kata itu untuk seorang lelaki yang telah meniatkan diri menemani sisa hidupku kelak. Ce ile... bahasanya.... ehm! ehm! ehm!
Ssst... dilarang protes. Meskipun saudara mungkin merasa mual tak tertahan setelah membaca beberapa baris kalimat di atas itu, bukan saatnya untuk muntah di sini. Muntahlah di kamar mandi. Atau di luar warnet ini. Lha, kok, ngomongin apa, seh...
Saya hanya ingin mengungkapkan seluruh rasa yang saya miliki saat ini untuk dia; lelaki yang kepadanya telah saya 'iya' kan ajakannya untuk menikah. Dia pemberani, bukan?
Begitu banyak lelaki lain telah mapan. Usia cukup, materi berlimpah, tapi niat untuk menikah saja masih ketar-ketir. Takut tak bisa membahagiakan istri, katanya.
Lelaki yang saya sapa 'my heart', bukan lelaki istimewa.
Usia? Masih sangat muda dibanding yang telah memasuki kepala 3. Saya bahkan lebih tua beberapa bulan dari dia.
Materi? Ah, dia sama saja sepertiku. Tertatih-tatih memenuhi kebutuhan hariannya. Bisa makan saja untung, mengingat tempat kerjanya bukan wilayah basah yang bisa membuatnya kaya dalam beberapa detik.
Wajah? Tak terlalu tampan. Sama sepertiku yang juga tidak terlalu cantik. hehehe....
Romantiskah? Tidak juga. Kata-kata yang dirangkainya menjadi kalimat-kalimat; yang kemudian di-sms-kannya pada saya, tak lebih dari kalimat sederhana tanpa muatan puitis sama sekali.
Lantas, apa yang istimewa? Dia; lelaki itu; berani mengajakku menikah. Sedangkal itukah? Kenyataannya, tidak semua lelaki seusia dia sanggup membuat keputusan 'senekad' itu. Penghasilan pas-pasan, dari keluarga sederhana pula, apa yang akan dibanggakan?
Komitmen. Dia berani berkomitmen untuk menjadi imamku kelak. Komitmen ini membawa kami pada keseriusan menjalani hubungan ini. Belum berbilang tahun sejak kami bertemu di chatroom saat itu, dan sekarang; kami sedang bersiap menuju hari bahagia itu. Mungkin terlalu terburu. Entahlah. Saya hanya tahu, saat hati ini telah niat untuk serius, dan ada yang berani menemaniku menantang badai kehidupan kelak, mengapa harus ditolak?
Kami bukan yang terbaik untuk masing-masing kami, tapi kami punya cita-cita dan cinta untuk senantiasa melakukan yang terbaik untuk satu sama lain.
Para pembaca, doakan kami. Agar perjalanan menuju hari bahagia itu, lancar tak berhalang. Aamiin.

Bingung...Bantuin, Donk...

Terlalu sering seperti ini. Gimana, donk...



Saya belum terlalu bisa 'mengendalikan' blog saya ini. Setiap kali posting, selalu terlambat satu hari. Misalnya saya posting hari ini (Jum'at, 19 Desember 2008), eh, tak tahunya, dalam tampilan hasil posting itu, tercatat Kamis, 18 Desember 2008.



Bagaimana mengatasinya? Terimakasih atas bantuannya. Silakan kirim ke email: diajeng_nida@yahoo.com



Terimakasih sekali lagi. Salam

Wah...Selamat Ya...

Hari ini mas Aveus Har menikah. Berdasarkan sms mas Ave beberapa saat yang lalu; demikianlah yang dinyatakannya. Mas Ave akan menikah pada tanggal 19 Desember 2008. Hari ini, Jum'at. Wah...Selamat ya...
Baarkallaahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'aa bainakumaa fii khaiir
Semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam keberkahan dan kebaikan. Aamiin
Itu saja dari saya. Terimakasih. Salam.

Sabtu, 13 Desember 2008

Tulisan Tanpa Judul

Sangat tidak dewasa saat saya memutuskan untuk menumpahkan 'marah' pada mereka. Tahu apa, mereka, tentang tujuan saya membuat suatu 'kebijakan' ? Mereka hanya merasa menjadi pihak yang dirugikan. Maka mereka merasa tidak bersalah sama sekali saat melakukan aksi protes itu. Dan kesabaran saya menguap.
Semua berawal dari niat untuk mengambil nilai. Yang dengan pengambilan nilai itu, mereka (anak-anak kelas V) harus menguasai seluruh pelajaran yang telah dibahas.
Ada satu bacaan dalam bahasa Arab. Bacaan itu telah ditulis, dan telah dibahas artinya bersama-sama. Lalu ada waktu beberapa menit untuk 'mengendapkan' hasil pembahasan itu. Selanjutnya buku ditutup.
Saya membuat 'lintingan' sejumlah anak, berisi nama-nama anak kelas V. Dan pengambilan nilai itu pun dimulai.
Saya ucapkan sebuah kata dalam Bahasa Arab, lalu saya ambil salah satu lintingan. Nama anak yang berada dalam lintingan yang terambil, saya sebutkan. Si anak bertugas menyebutkan arti dari kosakata Bahasa Arab yang telah saya ucapkan sebelumnya. Begitu seterusnya untuk lintingan kedua, ketiga, hingga lintingan terakhir. Putaran pertama selesai.
Memasuki putaran kelima, mulai terdengar kasak-kusuk tidak mengenakkan. Kita sebut saja tokoh kita ini Faqih dan Usman. Kebetulan, saat sebuah kata ditanyakan pada Faqih, Faqih tidak dapat menjawab. Sementara Usman menjadi gemas, karena bagi Usman, soal itu mudah, sedangkan tadi Usman mendapatkan soal yang dirasakan sulit.
AKhirnya, kericuhan tak terhindari. Anak-anak (Terutama Usman) merasa diperlakukan tidak adil. Darahku mendidih, mataku menegang, dan menggelegarlah kemarahanku mendapati protes dari anak-anak. Saya rasa ini tidak berlebihan, mengingat beberapa hal (aduh, maksa banget kesannya):
1. Saya sangat jarang marah pada anak-anak. Jadi boleh, lah... sesekali meluapkan kesal. (Aduh, ini hal yang sangat memalukan)
2. Kosakata-kosakata yang saya ajukan, benar-benar telah dibahas sebelumnya, dan anak yang mendapatkan soal itu, benar-benar karena hasil pengacakan lintingan.
3. Niat hati juga tidak untuk berlaku tidak adil pada beberapa anak diantara mereka.
Wah, saya bisa marah juga, yah? Saya sendiri kaget, mendapati bahwa saya tak bisa lagi mengendalikan emosi di hadapan anak-anak. Bagaimana lagi, benar-benar enek rasanya, dituding telah bersikap telah tidak adil, pilih kasih, dan sebangsanya.
Anak-anak terdiam mendengar luapan perasaan saya:
"Tolong, anak-anak....Jangan menganggap ibu telah berlaku tidak adil pada kalian. Kalau kalian memang telah menguasai materi yang kita pelajari tadi, mendapatkan soal apapun, mestinya kalian akan tetap bisa menjawab. Ibu sama sekali tidak memilih-milih soal untuk diberikan pada kalian. Ibu sama sekali tidak merencanakan untuk memberikan soal yang sulit kepada si A, sementara soal yang mudah untuk si B. Tidak. Sama sekali ibu tidak melakukan itu. Kalian mendapatkan soal tertentu, semata-mata karena hasil diacak. Sekali lagi tolong, jangan menganggap ibu berbuat tidak adil. Bila kalian memang telah menguasai materi, maka diberi soal bagaimanapun, pasti akan tetap bisa menjawab".
Tekanan suaraku menginjak nyali anak-anak seketika. Ruangan dicekam hening, hanya suaraku yang menggetarkan benda-benda di dalamnya. Tak pernah sebelum anak-anak protes atas 'kebijakanku', saya menggunakan nada do tinggi untuk menyampaikan materi.
Saya membiarkan hening merajai kelas kami beberapa detik lamanya. Setelah saya merasa cukup tenang, pengambilan nilai dilanjutkan. Hasilnya, ada satu anak yang akhirnya ngambek tidak mau menjawab. Saya biarkan dia berbuat begitu, tanpa merasa perlu membujuknya sama sekali. Sesekali, saya merasa perlu bersikap tegas pada warga kelas yang sedang belajar bersama-sama ini: agar mereka tahu, bahwa ibu guru mereka melakukan suatu hal bukan tanpa perhitungan. (Aduh, sok bijak... hehehe.....)
Apakah para pembaca pernah marah juga? Ceritakanlah, agar kita bisa berbagi. Salam