Kamis, 24 April 2008

JANGAN DILEPEKI…CUKUP 1 UNTUK 2 GELAS…

Betapa banyak pelajaran berharga hari ini (Selasa, 22 April 2008), mungkin ini juga sebabnya, mengapa saya tak kunjung bertemu dengan pangeran tambatan kalbu (lho, hubungannya apa?).

Sebab Allah tahu, saya belum bisa melayani sang pangeran itu nanti dengan baik. Menyajikan minuman saja masih belum becus…

Ceritanya, sejak hari ini, Ujian Nasional SMA/SMK/MA mulai digelar. Saya menjadi salah satu anggota panitia, tepatnya menjadi sie segala rupa (Hiks! Hiks! Hiks!). ngetik-ngetik surat-surat, menjadi tugas saya. Membuat buku panduan, motokopi, nempel foto, sampai pada urusan konsumsi. Saya senang, karena dengan melakukan ini semua, mudah-mudahan akan banyak pelajaran berharga dalam babak kehidupan ini bisa saya peroleh.

Jujur, saya canggung untuk mengurusi hal yang satu ini: Konsumsi. Sebab saya adalah orang yang hanya tahu, bila ini halal dan enak, maka untuk apa tidak dinikmati? Saya; meskipun wanita tulen, masih buta tuli untuk hal-hal semacam ini. Menunya akan apa? Yang seperti apa? Yang harganya berapa? Minumnya bagaimana? Dan sebagainya, dan seterusnya. Tapi saya tak akan pernah bisa, bila saya tidak mencoba. Maka saya pun mencoba.

Saat membuat teh celup, kesalahan pertama membuat saya belajar.
Saya sangat jarang membuat teh celup. Saya mengkonsumsi air bening sebagai air minum utama setiap hari. Baik di rumah, juga di sekolah. Ibu juga sangat jarang membuatkan teh untuk keluarga, kecuali bila akan ada acara kumpul-kumpul. Semisal pengajian, atau apa.

Dan saat membuat teh celup itu, pikir saya, satu bungkus untuk satu gelas. Setelah membuat hampir 10 gelas, ibu guru yang menjadi partner kerja saya, dan beliau sangat jauh berpengalaman, terkaget-kaget.
“Whaduh…deneng sih? De, sebungkus kuwe cukup nggo rong gelas apa telung gelas. Cukup dicelup-celup sedela, terus pindah gelas liyane”
(“Whaduh….lha, kok? De, satu bungkus itu cukup untuk dua gelas atau tiga gelas. Cukup dicelup-celupkan sebentar, kemudian pindah ke gelas yang lainnya lagi”)

Saya hanya tertawa ngakak mendengar ‘teguran’ refleks dari ibu guru saya ini. Menertawakan kebodohan saya sendiri. Pantaslah, warna air teh yang ada dalam minuman yang saya buat, amat sangat merah tua sekali. Oalah… kelebihan dosis rupanya.

Lalu saat penyajian.
Inilah ruginya orang yang terlalu cuek dengan segala hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti saya. Yang hanya menikmati dan mengikuti arus kehidupan yang mengalir, tanpa pernah mau memperhatikan, bagaimana aliran itu, dari mana, akan kemana, bagaimana dan mengapa.

Gelas, menurut saya adalah benda sederhana, yang bila diisi air minum, untuk diberikan pada tamu, harus dialasi dan harus ditutupi.

Itu pula yang saya lakukan. Setelah teh-teh itu siap, saya letakkan masing-masing gelas itu di tatakan gelas, kemudian atasnya saya tutup rapat dengan tutup gelas yang ada. Sempurna, bukan? Ya, tentu saja itu penilaian subjektif dari saya sendiri, selaku orang yang telah berusaha, bekerja keras, untuk dapat menyajikan yang terbaik. Tapi apa yang terjadi?

“Whaduh De….gelase aja ditataki (Whaduh De… gelasnya jangan diberi tatakan!)”, seru ibu guru yang menjadi partner kerjaku, kembali kaget.

Dan aku kembali tertawa, lagi-lagi, menertawakan kebodohanku sendiri.
Aku pun mengambil pelajaran itu, sebuah pelajaran berharga untuk mata pelajaran etika menghormati tamu.

Oh, jadi untuk gelas yang ukurannya telah cukup besar, lengkap dengan pegangan gelas, tak perlu ditataki. Berarti, tatakan gelas hanya berlaku untuk ‘gelas-gelas kroco’ seperti yang aku miliki di rumah. Ya,ya,ya… saya berjanji, hal kecil yang sungguh sangat memalukan seperti itu, tak perlu lagi terulang di kemudian hari.

Saya jadi bertambah malu, terutama bila mengingat kemungkinan (dan sialnya, kemungkinan itu sangat besar!), tamu yang kami suguh, lebih mengerti etika sopan santun dalam menghargai tamu, untuk segala tetek bengeknya, disbanding saya. Ini kesalahan kecil, tapi karena dilakukan dalam sebuah institusi, jadilah semua kena getahnya: Staf TU Madrasah ini, tak bisa menggunakan gelas dengan baik. Oalah, memalukan sekali.

Ah, kehidupan. Itulah. Sesuatu yang kecil, sepele, tapi sebenarnya tak akan pernah bisa dilakukan dengan baik, tanpa belajar. Maka saya sangat sepakat: belajar, belajar, dan belajarlah. Dimanapun, kapanpun, dan situasi yang bagaimanapun. Karena segala hal itu ada ilmunya, dan ilmu hanya akan bisa diperoleh, dengan belajar. Setuju?

NURULIDA FITRIYANI

Nurulida Fitriyani, ataukah Nurulida Fitriani? Berbedakah?
Tentu. Karena, sebuah identitas begitu penting artinya. Saya juga tidak akan mengijinkan, seseorang memanggil nama saya dengan Muslikah, sebab yang tercantum dalam daftar tertulis adalah Muslikhah. Saya juga protes, ketika ada yang menuliskan nama saya Muslihah; meski secara transliterasi, itu lebih mendekati benar dibanding dengan Muslikhah.

Manusia memang tempat lupa dan khilaf. Tapi, bukankah waktu itu telah diberi kesempatan? Dan saya tak bisa memanfaatkan kesempatan itu dengan baik, dengan sebuah dalih, saya telah mengurusi (lebih tepatnya mengetikkan) nama itu lebih dari lima kali. Tapi toh, ternyata, kesalahan tetap tak bisa dihindari. Mungkin, saat pertama saya mengetikkannya, saya ketikkan NURULIDA FITRIANI. Kemudian, etape berikutnya, saya ketikkan NURULIDA FITRIYANI. Selanjutnya, berbeda lagi: NURULLIDA FITRIANI. Dan seterusnya. Hingga kemudian, nama itu bisa disetorkan, sebagai salah satu calon peserta Ujian nasional SMA/MA 2008, dengan segenap optimisme, hasil pengetikan itu bisa dibuka di komputer server, bisa di print out..

Beberapa hari kemudian, print out hasil pengertikan itu, dikirimkan ke sekolah, untuk mendapatkan pengoreksian yang supercermat, dan bila ditemukan ketidakbenaran, agar segera diperbaiki, lalu disetorkan lagi ke Kantor Diknas Kabupaten, hari itu juga.

Ironisnya, dengan kesempatan yang diberikan itu, saya (dan juga kami) tak bisa manfaatkannya dengan baik. Ijazah tak saya buka lagi, satu demi satu huruf perangkai nama itu tak saya teliti, sebab saya begitu optimis, hasil pengetikan waktu itu telah sempurna. Dan semuanya memang tak ada masalah, baik nama, tempat tanggal lahir, dan sebagainya, sebab secara SEKILAS, itu memang sudah tak perlu diperbaiki lagi. Sudah cukup, dan tinggal menunggu hari pelaksanaan ujian.

Dan akhirnya, hari ini, Selasa, 22 April 2008, saat hari pertama ujian nasional SMA/MA dilaksanakan, kesalahan itu terdeteksi. Seharusnya, saya menuliskan: NURULIDA FITRIYANI. Tapi dalam print out yang dikirim kembali ke sekolah, tercatat: NURULIDA FITRIANI. Dan itu luput dari koreksianku, hingga akhirnya, begitulah.

Aku harus minta maaf, tapi kepada siapa? Semuanya telah terlanjur, nasi telah menjadi bubur. Sekarang hanya tinggal mengusahakan lagi, apakah masih bisa, kesalahan ini diperbaiki.

Bila kemudian saya mengambil tindakan bodoh: ‘Tidak akan mengurusi pengetikan nama-nama itu lagi’, saya juga keliru, karena notabenenya, yang ‘bisa melakukan’ itu ‘hanya’ saya.

Finally, maafkah saya, Ida...(NURULIDA FITRIYANI, nama panggilannya adalah Ida), maafkan saya, Pak Kasek, maafkan saya, semuanya. Saya sadar, ini bukan permasalahan sepele, karena kaitannya sudah dengan pembuatan dokumen resmi negara.
Maafkanlah, astaghfirulloh…

Dan lain kali, tentu saja, saya akan belajar lebih cermat dalam segala hal.
I think, that is all.

Kamis, 17 April 2008

PANTUN (2)

Wah.... lama banget ga nulis di sini...
Biasa lah, (pura-pura) sibuk. Yang sebenarnya siy... emang waktunya sulit. Isi dompetnya juga lagi sulit.... hehehe....
Yap! Beberapa waktu yang lalu, telah saya janjikan untuk bagi-bagi pantun merah jambu.
Nah.... inilah pantun-pantun yang saja 'janjikan'

Cerah berseri hangat mentari
Temani langkah gapai bahgia
Kanda ucapkan selamat pagi
Buat dinda di seberang sana

Mawar merah di tanam sudah
Menghias taman sungguh eloknya
Malam datang mari istirah
Mimpi indahlah wahai adinda

Jalan berliku, terjal berbatu
Curamnya jurang, kutempuh jua
Hanya pada-MU, kami mengadu
Mohon ijinkan kami berjumpa

Begitulah pantun-pantun yang tercipta dari seseorang yang pernah memerahjambukan hati yang telah merah. Semoga bermanfaat untuk membantu tugas kesusastraan Bahasa Indonesia ... hehehe...

Ah, apapun memang mungkin saat cinta menyapa. cie....

Senin, 07 April 2008

Yuk... Berpantun!

Aku punya beberapa pantun. Ga bagus-bagus amat, siy...tapi lumayan lah... kalo ada diantara sidang pembaca yang kebetulan lagi dapet tugas bikin pantun, sapa tau ini bisa sedikit membantu.

Buah jambu buah kedondong
Pengen maju, buka buku donk...

Buah kuini buah srikaya
Rajin ngaji, panen pahala

Ikan salmon dan ikan belut
Lagi salaman, dilarang merengut

Ada batu berbentuk hati
Sama ortu, mesti berbakti...

Ada juga beberapa pantun, tapi ketinggalan di rumah. Kapan2 lagi dech..., insya Alloh.
Sssst, pantun yang ketinggalan itu, oleh-oleh diriku kenal ma temen (deket) dari tanah yang jauh. So, nuansa pantunnya merah jambu banget. Tunggu ya...

Dah dulu ah, dah sore.
Mari, misi, thanks atas kunjungannya

Minggu, 06 April 2008

HAMPA

Hujan menderas
Seharusnya inilah hatiku padamu
Namun tak bisa
Tak bisa kutangisi pergimu

Mendung belum sirna
Dari atas sembojamu
Namun kabut tlah berlalu
Seiring pergimu dariku

Mengapa, kasih
Tak kurasakan itu
Hilang
Duka
Luka

Maafkan, kasih
Saat kerjap ceria mataku
Mengiring beku pergimu

Kamis, 03 April 2008

KALIMAT TERINDAH

Aku berikan padamu kalimat terindah
Kupetik dari kedalaman makna
Kurangkum dalam kesyahduan rasa
Kusembahkan sepenuh setia

Aku berikan padamu kalimat terindah
Wujud bakti peduliku
Bunga cinta kasihku
Buah tulus ikhlasku

Aku berikan padamu kalimat terindah
Pengobat sakit hatimu
Penawar racun jiwamu
Pelipur duka laramu

Aku berikan padamu kalimat terindah
Dengarlah kejernihannya
Rasakanlah keindahannya
Nikmatilah kilau kerlipnya

Aku berikan padamu kalimat terindah
Tak kan bosan-bosan kuberikan
Tak kan bosan-bosan kubacakan
Tak kan bosan-bosan kugetarkan

Aku berikan padamu kalimat terindah
Ar-Rohman hanya sebagian
Seluruhnya satu keagungan
Cahayanya menyepuh zaman

Aku berikan padamu, kasih
Kaimat terindah: firman-Nya yang shahih