Sabtu, 13 Desember 2008

Tulisan Tanpa Judul

Sangat tidak dewasa saat saya memutuskan untuk menumpahkan 'marah' pada mereka. Tahu apa, mereka, tentang tujuan saya membuat suatu 'kebijakan' ? Mereka hanya merasa menjadi pihak yang dirugikan. Maka mereka merasa tidak bersalah sama sekali saat melakukan aksi protes itu. Dan kesabaran saya menguap.
Semua berawal dari niat untuk mengambil nilai. Yang dengan pengambilan nilai itu, mereka (anak-anak kelas V) harus menguasai seluruh pelajaran yang telah dibahas.
Ada satu bacaan dalam bahasa Arab. Bacaan itu telah ditulis, dan telah dibahas artinya bersama-sama. Lalu ada waktu beberapa menit untuk 'mengendapkan' hasil pembahasan itu. Selanjutnya buku ditutup.
Saya membuat 'lintingan' sejumlah anak, berisi nama-nama anak kelas V. Dan pengambilan nilai itu pun dimulai.
Saya ucapkan sebuah kata dalam Bahasa Arab, lalu saya ambil salah satu lintingan. Nama anak yang berada dalam lintingan yang terambil, saya sebutkan. Si anak bertugas menyebutkan arti dari kosakata Bahasa Arab yang telah saya ucapkan sebelumnya. Begitu seterusnya untuk lintingan kedua, ketiga, hingga lintingan terakhir. Putaran pertama selesai.
Memasuki putaran kelima, mulai terdengar kasak-kusuk tidak mengenakkan. Kita sebut saja tokoh kita ini Faqih dan Usman. Kebetulan, saat sebuah kata ditanyakan pada Faqih, Faqih tidak dapat menjawab. Sementara Usman menjadi gemas, karena bagi Usman, soal itu mudah, sedangkan tadi Usman mendapatkan soal yang dirasakan sulit.
AKhirnya, kericuhan tak terhindari. Anak-anak (Terutama Usman) merasa diperlakukan tidak adil. Darahku mendidih, mataku menegang, dan menggelegarlah kemarahanku mendapati protes dari anak-anak. Saya rasa ini tidak berlebihan, mengingat beberapa hal (aduh, maksa banget kesannya):
1. Saya sangat jarang marah pada anak-anak. Jadi boleh, lah... sesekali meluapkan kesal. (Aduh, ini hal yang sangat memalukan)
2. Kosakata-kosakata yang saya ajukan, benar-benar telah dibahas sebelumnya, dan anak yang mendapatkan soal itu, benar-benar karena hasil pengacakan lintingan.
3. Niat hati juga tidak untuk berlaku tidak adil pada beberapa anak diantara mereka.
Wah, saya bisa marah juga, yah? Saya sendiri kaget, mendapati bahwa saya tak bisa lagi mengendalikan emosi di hadapan anak-anak. Bagaimana lagi, benar-benar enek rasanya, dituding telah bersikap telah tidak adil, pilih kasih, dan sebangsanya.
Anak-anak terdiam mendengar luapan perasaan saya:
"Tolong, anak-anak....Jangan menganggap ibu telah berlaku tidak adil pada kalian. Kalau kalian memang telah menguasai materi yang kita pelajari tadi, mendapatkan soal apapun, mestinya kalian akan tetap bisa menjawab. Ibu sama sekali tidak memilih-milih soal untuk diberikan pada kalian. Ibu sama sekali tidak merencanakan untuk memberikan soal yang sulit kepada si A, sementara soal yang mudah untuk si B. Tidak. Sama sekali ibu tidak melakukan itu. Kalian mendapatkan soal tertentu, semata-mata karena hasil diacak. Sekali lagi tolong, jangan menganggap ibu berbuat tidak adil. Bila kalian memang telah menguasai materi, maka diberi soal bagaimanapun, pasti akan tetap bisa menjawab".
Tekanan suaraku menginjak nyali anak-anak seketika. Ruangan dicekam hening, hanya suaraku yang menggetarkan benda-benda di dalamnya. Tak pernah sebelum anak-anak protes atas 'kebijakanku', saya menggunakan nada do tinggi untuk menyampaikan materi.
Saya membiarkan hening merajai kelas kami beberapa detik lamanya. Setelah saya merasa cukup tenang, pengambilan nilai dilanjutkan. Hasilnya, ada satu anak yang akhirnya ngambek tidak mau menjawab. Saya biarkan dia berbuat begitu, tanpa merasa perlu membujuknya sama sekali. Sesekali, saya merasa perlu bersikap tegas pada warga kelas yang sedang belajar bersama-sama ini: agar mereka tahu, bahwa ibu guru mereka melakukan suatu hal bukan tanpa perhitungan. (Aduh, sok bijak... hehehe.....)
Apakah para pembaca pernah marah juga? Ceritakanlah, agar kita bisa berbagi. Salam

Tidak ada komentar: