Sabtu, 08 Maret 2008

My Memorize

Fabiayyi aa-laa-i Rabbikumaa Tukadzdzibaan

Sungguh! Syukurku pada Allah yang berkenan mengujiku dengan sakit ini, mengijinkanku merasakan bagaimana menjadi seorang pasien di salah satu rumah sakit besar seperti Rumah Sakit Umum Daerah Margono Sukarjo Purwokerto.

Yang aku keluhkan 'hanya' sebutir bola pingpong yang aku anggap mengganggu gerak leluasaku di area tubuh yang sebenarnya tidak termasuk anggota gerak. 'Hanya' sebutir bola pingpong di bawah arkeola kananku. Apanya yang harus dikeluhkan?

Saat di rumah sakit kemarin (18-20 Februari 2008), penyakit yang lebih 'aneh' dan lebih 'layak' dikeluhkan aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Semata-mata aku menyaksikan bagaimana 'tersiksanya' mereka, dengan benjolan-benjolan yang sungguh ajaib, menempel di beberapa tempat pada tubuh-tubuh mereka.

Fabiayyi aa-laa-i Rabbikumaa Tukadzdzibaan

Ada yang sedang menjalani kemoterapi, dengan dampaknya yang sangat memilukan jiwa dan raga: rambut rontok, kulit gosong kehitaman, nafsu makan turun, perut mual, dan lain sebagainya.

Ada yang menderita tumor rahim, sudah diangkat, tapi ternyata terbukti ganas, dan sekarang membenjol lagi, bahkan mencuat dan bisa dilihat dengan mata telanjang kemunculannya. Mengeras seperti batu.

Ada yang hidungnya terus menerus mengeluarkan darah, entahlah, penyakit apa itu namanya, yang jelas, sang pasien 'dipaksa' disumpal hidungnya dengan pilinan kapas. (Aku teringat, kapas yang disumpal-sumpalkan ke bagian tubuh kita yang berlubang, berlaku nanti setelah kita meninggal! Tapi ini, dia masih menghembuskan nafas dengan bebas. Ya Rabbi..!)

Ada yang terpaksa dibuang salah satu teteknya, tempat dulu anak-anak tercinta menghisap bukti kasih sayang tak terperi sang bunda, untuk menyelamatkan nyawa yang hanya satu-satunya dimiliki. Itu pun belum cukup, ternyata. Setelah itu, dari bagian tubuh yang lain, diambil sedikit dagingnya untuk menambal tetek yang telah diratakan dengan dada tersebut. Duh Rabbi...

Ada yang... entahlah. Aku tak tau penyakit apa, yang jelas ada benjolan besar... (setidaknya menurut ukuranku!) menempel di bagian bawah telinga sampai ke pipi, membut sang pemiliknya (seorang nenek renta), begitu sulit, sulit sekali ketika harus menghirup dan menghembuskan nafas. Mau tak mau, mulutnya akan senantias terbuka, dan dari tenggorokannya, tak henti keluar suara seperti orang ngorok kalau tidur. Belum lagi bila sekedar ingin membuang liur atau dahak. Ya Rabbi... begitu sulit sekali.

Ada yang diuji dengan kaki yang hampir busuk karena luka yang diderita. Mungkin Bapak ini menderita diabetes, dan lukanya yang tak kunjung kering akhirnya menanah, dan hampir busuk.

Fabiayyi aa-laa-i Rabbikumaa Tukadzdzibaan

Apalagi yang harus aku ceritakan dari rumah sakit besar ini?

Aku diajari untuk bersyukur, bersyukur, bersyukur...

Aku masih bisa bebas bercakap, diantara rintih lirih para pasien yang lain. Bukan, bukan aku sedang menghina rasa sakit mereka, bukan pula aku menyombongkan kesehatan yang Allah titipkan. Sungguh, aku hanya sedang menghibur diri sendiri, aku juga ingin, meski dalam sakit, toh masih ada begitu banyak nikmat 'tersisa' untuk disyukuri.

Aku masih bisa bebas tertawa, bukan karena aku tak merasakan lara, tapi hanya agar sedikir berkurang luka di jiwa. Aku masih bisa mencecap makan dengan enak, bukan sedang menelantarkan rasa lapar mereka karena perut yang tak bisa diisi nasi, tapi hanya sekedar berusaha, ayolah.... esok lusa, kenikmatan seperti ini pasti bisa kunikmati lagi.

Dan kamar operasi menyambutku dalam pasrah sepenuhnya. Di depan ruang operasi, sempat terpikir dalam benakku: Ya Rabbi...bagaimana jodohku kelak? Air mataku menitik, setelah hampir 24 jam sebelumnya, aku bahkan tak terpikirkan untuk menangis. Sesampainya di bangsal Teratai, hampir 24 jam berikutnya, aku menghabiskan waktu dalam cand tawa. Jujur, aku tak terpikir apapun selain aku harus menenangkan diri agar tidak terjadi kepanikan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi, di depan kamar operasi, bayang masa depan yang mungkin akan membuatku sedih berkelebat dengan cepat. Tapi kemudian aku sadar, laki-laki yang telah Allah ciptakn untukku (yang sampai saat ini aku belum tahu, who is he?) pastilah laki-laki terbaik, yang akan menerimaku apa adanya. Menerima kekuranganku, dan mengakui lekebihanku. Bukankah begitupun adanya aku? Pasti Allah telah mendesain sedemikian rupa, agar aku sanggup menerima segala sisi jodohku. Yang baik dan yang buruk, yang kurang dan yang lebih, apapun. Jodoh bukanlah sekedar penerimaan fisik, meski itu juga salah satunya. Aku akui itu. Namun aku yakin, ada banyak hal penting yang lebih dari sekedar kesempurnaan fisik yang harus diperhitungkan.

Maka aku kembali pasrah, Bismillaah...aku niati sebagai ibadah proses operasi ini. Apapun yang terjadi, mudah-mudahan itulah yang terbaik dari Allah. Seperti yang mas Ve sering katakan, apapun sebenarnya adalah takdir dan pilihan. Hidup adalah takdir, tapi menjalani hidup dengan lebih sehat adalah pilihan.

I think that is all

Tidak ada komentar: