Senin, 17 November 2008

AKU CEMBURU

Bahkan sampai lupa menggunakan kata 'saya' untuk memberi judul tulisan ini. Akan lebih santun, bukan, bila kita membaca: "SAYA CEMBURU" daripada "AKU CEMBURU".

Tapi kesadaran itu, toh tidak menuntun saya untuk merubah judul tersebut. Biarlah tetap seperti itu.

Sebelum saya merasakan sendiri; bagaimana terbakarnya jiwa yang cemburu itu; saya selalu tak habis pikir setiap kali ada yang membicarakan cemburu. Masa iya, hanya sebab sepele, bisa tersulut sedemikian rupa? Masa iya, hanya karena bertemu dengan 'sang rival' saja, hati panas bukan main? Masa iya, .....

Begitulah. Selalu tak percaya; bahkan saat dulu ada yang mencemburui saya sampai sebegitunya. Ah, mengesankan sekali cerita saat itu. :-)

Syukurlah, saya boleh juga merasakan hal itu. Ternyata memang, tak enak sama sekali menu dengan nama CEMBURU ini.

Kami (saya dan calon suami; mas D, begitu saya menyebutnya) sedang berbincang santai tentang ini dan itu.

Dengan riang, saya bercerita tentang kejadian beberapa hari yang lalu di sekolah. Sehari sebelumnya, saya bertemu dengan mas D di Purwokerto. Saat itu, kami menunggu kedatangan seorang teman (mba Y, saya memanggilnya demikian) di masjid.

Saya dan mba Y 'berkoordinasi' lewat sms, akan ketemuan dimana. Akhirnya disepakati, kami akan ketemuan di masjid At-Taqwa Kebondalem Purwokerto. Waktu berlalu dalam iringan hujan. Sesekali petir menyambar. Hingga akhirnya mba Y berkirim sms....

"lagi dimana, sih? jadi ketemuan, ga? saya dah di masjid sejak tadi..."

"di masjid, mba. masjid At-Taqwa Bondalem, kan? disini, mba, di deket t4 parkir"

Lalu sms balasan dari mba Y, sungguh mengejutkan saya.

"saya dah pulang. maaf"

Pulang? Apa maksudnya? Padahal saya sudah berusaha mengecek keberadaan mba Y di dalam masjid. Masjid At-Taqwa Kebondalem Purwokerto tidaklah terlalu besar, sehingga kalau saya harus berkeliling pun, masih memungkinkan.

Lalu esok paginya, saya bertemu mba Y di sekolah. Saya protes habis-habisan: " mba, ngerjain saya, yah? jahat banget, tau ga, sih? kemarin saya bener-bener ngecek ke tempat jamaah wanita, takutnya mba lagi nyungsep di sana..."

Dan mba Y hanya menanggapi dengan senyum jail. Jahat!

-0-

Kejadian pagi saat itu lah yang saya ceritakan kepada mas D dengan riang.

Dan jawaban mas D, sungguh di luar dugaan saya.

"Mba Y di Masjid Agung, saat itu ...."

Saya pikir, mas D akan menanggapi :"Oh, begitu? wah, pasti mba Y seneng banget, yah, bisa ngerjain cintaku habis-habisan..."

"Oh, mba Y cerita ke mamas?", pertanyaan konyol itu akhirnya terlontar.

"Iya, saat cintaku berangkat pagi-pagi kemarin itu, mba Y teriak-teriak, kan? Itu mamas lagi telfon beliau...."

Ah. Batin saya terluka. Terbayang lagi kejadian saat itu. Pagi hari setelah sore hari sebelumnya kami bertemu, saya berangkat ke sekolah pagi-pagi. Lebih pagi dibanding biasanya. Sampai di jalan, sebelum saya menyeberang rel kereta api, banyak orang menyarankan agar saya tidak lewat jalan alternatif. Becek sekali, kata mereka. Saya memutar otak. Aha, lewat rel kereta api saja. Tapi, sepatu saya?

Saya takut terpeleset saat melewati jembatan yang membentang di atas sungai itu. Tapi Alhamdulillah, Bapak ada di dekat rel, sedang 'menonton' proyek pembuatan terowongan yang akan menghubungkan dua desa di tempat kami. Maka saya minta tolong pada Bapak, agar berkenan menyeberangkan saya di jembatan.

Dengan sepatu berhak lebih kurang lima sentimeter, saya menyebereang jembatan rel kereta api itu. Saya berpegang erat pada lengan Bapak. Sebelum sampai di jembatan, mba Y berteriak-teriak dari depan rumahnya sambil menerima telfon dari seseorang.

"Wah, gasik, neh...pake seragam baru, lagi..."

"Ya iya, lah, harus semangat, gitu lhoh", saya menjawab sekenanya.

Dan sore ini (16 November 2008), saya tahu, ternyata yang sedang ngobrol sama mba Y pagi itu adalah mas D.


Ah....

Cemburu? Entahlah. Tapi demi membayangkan kejadian saat itu, ada rasa sakit yang menyelusup. Sebenarnya ini tak beralasan sama sekali, bagaimanapun, kami (saya dan mas D) telah sangat percaya satu sama lain.

Saya kesulitan mencari jalan untuk berangkat, pada saat yang sama, mas D tengah begitu asyik bercengkrama di telfon dengan teman sekantor saya.

Sudahlah. Sudahlah.

Keriangan saya menguap entah kemana, begitu mas D menyatakan bahwa saat saya berangkat itu, mas D sedang ngobrol dengan mba Y. Saya tak punya alasan tepat untuk cemburu, tapi tetap saja ada rasa yang tidak enak dalam hati saya. Padahal juga, mas D belum sepenuhnya menjadi milik saya. Punya hak apa, saya, membatasi pergaulannya? Toh, bila pun kami telah bersama-sama kelak, saya juga tidak mungkin melarang mas D berkomunikasi dengan rekan-rekannya sebab manusia butuh bersosialisasi.

Ketidakriangan saya, mungkin dirasakan juga oleh mas D di seberang sana. Saya hanya menjawab sekedarnya saat ditanya. Bener-bener muka saya terekuk sedemikian dalam, bibir saya manyun, dan keceriaan yang beberapa detik sebelumnya masih mewarnai pembicaraan kami, menguap begitu saja.

Memalukan.

Childish.

Kebetulan juga, jaringan telfon sedang 'error', jadi saat telfon terputus, lalu mas D menghubungi lagi, tidak segera saya angkat. Hati saya masih panas.

Jujur, saya merasa tidak dewasa sekali memperturutkan rasa mencemburui teman sendiri? Aha, bisa-bisa tambah diledek habis-habisan.

Untunglah, saya pernah mengalami menjadi pihak yang sangat dicemburui. Saat itu, saya masih saja bisa beralasan: halah, gitu aja kok cemburu?

Ternyata, cemburu memang makhluk aneh, yang tak pandang situasi dan kondisi kala hadir. Begitu saja ia datang, dan bila diperturutkan, akan meninggalkan malu dan sesal tak berkesudahan.

So?

Bagi para pembaca yang mudah cemburu, tak apa, itu wajar, asal jangan berlebihan. Apapun yang berlebihan, tak akan baik akibatnya.

Bagi para pembaca yang punya kekasih pencemburu, berbahagialah, sebab itu berarti, kekasih Anda benar-benar mencintai Anda. Hargailah rasa cemburunya, dan jangan Anda sengaja membakarnya.

Justru, bila pasangan Anda tak pernah mencemburui Anda, patutlah ditanyakan: "Cinta atau tidak, toh, sebenarnya?"

I think that is all.

Thanks to: mas D

Tidak ada komentar: