Senin, 07 Juli 2008

TANGGAL 1 JULI 2008

Semalam (Senin, 30 Juni 2008; pukul 21.00), ada yang meninggal di RW tempatku tinggal. Seorang kakek, berusia sekitar 76 tahun. Sudah cukup sepuh, dan mungkin sudah sepatutnya meninggal. Yang pasti, janji yang telah ditandatangani saat di alam kandungan dahulu, telah sampai pada ketentuannya. Ketentuan waktu, tempat, dan proses kematian yang harus dilakoni.


Saya mengenal sang kakek, tapi tidak terlalu dekat. Berinteraksi pun, hampir-hampir tidak pernah. Hanya sesekali saya lihat sosoknya yang tinggi jangkung, bila saya akan bepergian. Kebetulan rumah kami berjauhan. Rumah saya di ujung utara RW kami, sedangkan rumah beliau di ujung selatan. Terpisah oleh rel kereta api yang melintang arah timur-barat.


Maka tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor, saya berta’ziyah. Pengennya bisa ikut menshalatkan, tapi apalah daya; keadaan tidak memungkinkan. Jadilah hanya bisa mendoakan semampu saya.


Lalu cerita pun bergulir. Sang kakek yang sangat gemar meminta maaf pada sesama, bahkan menjelang sakaratul maut pun, masih bisa meminta maaf dengan yang lain. Konon ceritanya, setiap kali ada orang menengok beliau, tak lupa, beliau akan meminta maaf. Sampai di sini saya berpikir, alangkah bersih interaksinya dengan yang lain. Bagaimana dengan saya?


Kemudian cerita tentang sakitnya. Sang kakek; awalnya menderita sakit maag. Maag yang diderita sang kakek, adalah maag yang bisa dikatakan sudah sangat kronis. Bahkan; menurut sumber berita yang saya terima; sakitnya ini telah merobek lambungnya. Lambungnya pecah. Akibatnya, darah mengalir terus menerus dari bagian tubuh bagian bawah. Sampai sang kakek harus menjalani transfusi darah, tapi ternyata tak cukup membantu. Darah yang keluar, tetap tak terganti oleh darah yang masuk. Tentunya bisa dibayangkan; bagaimana kotornya sang kakek saat di rumah sakit? Badan dan pakaian belepotan darah, belum lagi bila hajat untuk buang air itu datang. Astaghfirullah, na’uudzubillah. Sakit kok ya aneh-aneh saja, sekarang ini, yah???


Dan Allah Maha Sayang. Barangkali itu maksudnya; ketika akhirnya; penderitaan sakit yang sedemikian rupa; dicukupkan sampai tadi malam.


Bukan hak saya untuk mengulas keseharian sang kakek, hingga harus diuji dengan sakit yang sedemikian itu. Yang menjadi maksud saya menuliskan ini adalah, telah seberapa banyak dan berkualitaskah, bekal yang telah kita kumpulkan untuk menjumpai Allah saat waktunya tiba nanti?


Kematian yang menjemput sang kakek (semoga Allah mengampuni beliau, aamiin) hanyalah satu contoh model kematian yang mungkin akan menimpa kita. Masih sangat banyak kasus kematian yang lain. Tapi semuanya, memberikan pelajaran berharga bagi kita yang masih hidup.


Kematian adalah misteri. Kedatangannya tak ada yang bisa menduga. Kapan, dimana, dan dengan cara bagaimana. Boleh saja terjadi, sedetik setelah bercengkrama dengan pasangan kita; ajal menjemput. Bisa juga, setelah bertahun-tahun mengidap sakit, barulah maut menyapa. Atau mungkin, pergi begitu saja tanpa pesan saat dibuai mimpi.


Karena misterinya yang sedemikian itu, maka menjadi suatu keharusan, untuk kita rajin-rajin mengumpulkan bekal menghadap Yang Kuasa. Membiasakan diri berbuat baik selama hidup, agar mudah-mudahan, dimudahkan saat ajal menjemput. Karena kebaikan bukan hanya untuk diketahui, tapi untuk dilaksanakan dan dibiasakan.


Sudahkah kita membekali keranjang kehidupan kita dengan persembahan terbaik untuk Yang Maha Kuasa?

Tidak ada komentar: