Rabu, 14 Mei 2008

PEMBUNUH TETANGGA TEMAN KERJAKU

‘Nguing….nguing….nguing….”
Makhluk kecil bermulut tajam runcing itu mendenging-denging di telingaku. Refleks, aku mengibaskan apapun yang ada di sekelilingku untuk mengusirnya. Bahkan kalau perlu, membunuhnya.

-0-

Sederetan kalimat di atas, mungkin bagus bila dikembangkan menjadi sebuah cerpen. Tapi sekarang, kita tidak akan melakukan itu. Lain kali saja, Insya ALLOH. Atau ada diantara pembaca yang bermaksud melakukan itu sekarang? Silakan!

Ada cerita menarik yang saya terima di akhir pekan kemarin. Tepatnya, dalam satu hari; Jum’at, 9 Mei 2008. Waktunya berbeda; pagi dan malam; tapi ceritanya sama: tentang nyamuk.

Siapa yang tak tahu nyamuk?

Makhluk kecil dan mungil, tapi kehadirannya meresahkan manusia. Bukan apa-apa, nyamuk membawa potensi, tapi juga rezeki. Potensi membuat manusia menderita, tapi juga rezeki bagi manusia-manusia kreatif untuk berkarya.

Seharusnya kita bisa menikmati hadirnya, bila saja si kecil penghisap darah ini bukan sosok pembawa petaka.

Tanggal 9 Mei 2008, pagi. Teman kerja saya bercerita.

Awalnya, kami sedang ngobrol ngalor ngidul, tapi sesekali teman saya ini menguap. Menguap itu tanda kantuk.
Jadi saya bertanya, mencoba menelisik: “Putranya sehat, kan, mba?”

Saya rasa, tak berlebihan ketika saya menanyakan itu. Pagi-pagi sudah berkali-kali menguap, memang menjadi indikasi dari kejadian semalam; yang bisa saja tidak beres: mungkin ada yang sakit, sehingga harus terus-menerus berjaga. Atau mungkin ada tugas yang harus diselesaikan karena paginya sudah harus dilaporkan. Dan tidak menutup kemungkinan ada sebab yang lain; misalnya karena memang dijatah meronda.

Dan benarlah, teman saya ini menjawab:
“Alhamdulillah….sehat. sudah sehat… minggu kemarin sempat panas, bahkan muntah-muntah. Saya sampai khawatir, jangan-jangan anak saya kena DB”

Ceritapun bergulir.
Ternyata, lingkungan tempat tinggal teman saya ini sedang diresahkan oleh aksi si makhluk kecil yang sedang kita perbincangkan ini: NYAMUK

Kata teman saya ini, satu orang telah terenggut jiwanya, dan ada sekitar 4 – 5 orang masih dalam keadaan sakit: Positif DB.

Malah kata temen saya ini juga, di tempatnya sedang dilakukan penyemprotan. Tentu saja, menyemprot si mungil pembawa maut itu.

Tak lama kemudian, teman saya ini masuk kelas untuk mengajar, karena bel masuk telah dibunyikan.

Dan saya merenung.
Sering kali, kita meremehkan sesuatu yang kecil. Padahal, sering kali juga, kita dihadapkan pada kenyataan, bahwa sesuatu yang kecil itulah justru yang lebih mematikan, lebih membahayakan, lebih memiliki pengaruh pada yang lain.

Saya rasa, jarang terjadi, ada kasus kematian manusia karena ditanduk sapi. Tapi yang lebih sering kita dengar, dan kita lihat, serta kita rasakan adalah: seekor nyamuk berhasil masuk berita karena ulahnya: meneguk darah manusia, hingga manusia itu meninggal.

Yah, begitulah nyatanya.

Dan malamnya, saya menerima kabar yang sama dari teman saya; Kang Nasspur. Kang Nasspur menjawab ketidaksabaran saya (--sungguh, saya ingin merubah perangai saya yang suka tak sabaran ini--) dengan berita itu: saya kena typus dan gejala DB. Jadi harus bed rest.

Awalnya, saya mengirim sms: “Dah dibuka emailnya?”

Sms itu saya kirimkan ke salah satu nomornya. Maklumlah, nomornya banyak sekali, sehingga saya spekulasi, mengirimkan sms itu ke salah satu nomornya. Sms saya diterima dengan baik. Tapi tak ada respon positif. Lalu saya kirimkan sms itu ke nomornya yang lain. Juga diterima dengan baik; begitulah laporan yang masuk ke hape saya. Tapi juga tetap tak ada respon.

Saya jadi bingung. Memang, punya hape lebih dari satu; di jaman sekarang ini; bukanlah sesuatu yang “wah”. Tapi yang membuat saya bingung adalah: mengapa sms saya tak direspon?

Akhirnya saya mengiringi sms yang tadi dengan sms berikutnya; bermaksud meminta kejelasan perihal nomornya; yang mana toh, yang jadi nomornya kang nasspur?

Masih juga tak ada respon.

Tak sabar, akhirnya saya berkirim pesan lagi; berisi permohonan maaf atas sms-sms saya yang mungkin menjadi pengganggu bagi kang nasspur, dsb, dsb. Bahkan saya juga ‘berjanji’, untuk tak lagi ‘menggaggunya’ (lha, emangnya saya niat ganggu, apa? Oh, tentu tidak…!)

Setelah sms itu terkirim, saya catat seluruh nomor yang saya simpan dengan namanya kang nasspur, pada buku pribadi saya. Lalu nomor-nomor kang nasspur saya hapus dari hape. (weh, ga ngefek sih sebenernya, lha wong dah disimpan di media yang lain? J )

Ini merupakan tindakan konyol. Hanya pantas dilakukan oleh anak kecil, yang memang belum bisa bersikap dewasa ketika ada permasalahan. Bukankah bila saya bersedia berpikir lebih jauh; hal-hal konyol seperti itu tak perlu terjadi? Mungkin kang nasspur memang masih benar-benar sakit, mungkin baterainya drop, mungkin pulsanya limit, mungkin, mungkin, dan mungkin. Ada begitu banyak kemungkinan ketika sms saya tak langsung ditanggapi.

Setelah aksi penghapusan nomor itu, saya tidur. Kepala yang sudah berat bin pening sejak siang, meminta saya untuk segera mengistirahatkannya. Tubuh saya memang akhir-akhir ini menjadi lebih ‘ringkih’. Sebentar-sebentar capai, sebentar-sebentar drop. Entah kenapa.

Saat terbangun, ternyata ada sms masuk, dari salah satu nomor kang nasspur yang telah saya hapus dari hape saya. Hehehe….akhirnya dibalas juga.

= …. saya typus dan gejala DB. Jadi harus bed rest =

Duh Rabbii…

Hati saya dihantam dengan palu penyesalan sedemikian hebat. Sungguh saya merasa sangat bersalah, telah berlaku tak adil pada orang lain: meminta orang lain segera merespon setiap aksi saya, padahal saya pun juga kadang-kadang lalai untuk memberikan perhatian-perhatian kecil pada yang lain.

Beberapa hari sebelumnya, kang nasspur memang mengabarkan pada teman-temannya, bahwa saat itu, beliau sedang mriyang. Tapi saya sungguh tak menyangka, ternyata mriyangnya separah itu.

Maafkan saya ya kang… maafkanlah ketidaksabaran saya. Sungguh, saya mohon maaf! Saya berjanji, sejak saat ini, saya akan belajar untuk lebih bersabar lagi.

Terima kasih, ALLOH. Kau ciptakan nyamuk, agar kami pandai-pandai mengambil pelajaran berharga dengan kehadirannya.

Bahkan membuat saya mematri janji: saya harus belajar lebih bersabar dalam segala hal.

Tidak ada komentar: